Sabtu, 27 Mei 2017

Mozaik Manusia Indonesia

Mozaik Manusia Indonesia

Dikutip dari buku yang judulnya sama

Bagaimana kita menyadari kenyataan diri, sebagai manusia, sebagai bagian dari komunitas atau sebuah bangsa? Realitas manusia sebagai pribadi atau kolektivitas sebenearnya selalu berada dalam keadaan goyah. Tak ada satu pun pengikat yang begitu kuat dan mematri keberadaan manusia.

Tapi manusia bagaimanapun - ia sebenarnya adalah satu spesies tunggal yang pada mulanya tak berbeda, tak beridentitas, tak berkelas, dan sebagainya- ternyata terus membutuhkan suatu hal yang mendakam bahwa ia "ada". Karena "kenyataan" keberadaan atau eksistensi itulah yang memberi merkea alasalan untuk apa saja: untuk tahu dimana ia, kemana berjalan, dari mana datangnya; untuk hidup, atau sekedar untuk menyatakan "ini aku".  Yang membuatnya kontemporer adalah pemaknaan atau penetapan indikator yang selalu berubah seiiring perkembangan zaman.

Secara umum, kebanyakan manusia ( dalam level maupunmatra, apa pun dia) lebih kerap menggunakan alasan - alasan tradisional untuk menegaskan keberadaan jati diri seseorang, yang umumnya berimplikasi pada gerak mundur melihat realias - realitas yang pernah ada dalam hitoriografi dirinya. Di posisi ini, sesungguhanya kita (manusia) selalu menghadapi problemasi yang cukup serius. Ketika sumber kesejarahan sesungguhnya bukanlah hal yang memiliki garansi dalam pertanggungjawaban kebenaran, akurasi, atau otentisnya. Betapapun tradisi adalah sesuatu yang liquid: mengambil bentuk sesuai sungai waktu yang engalirinya. Begitupun buku - buku sejarah, yang sangat kita mafhumi, sebagai hasil saru kosntruksi dari kekuatan - kekuatan dominan, baik secara politik, ekonomi, sosial atau kultural.

Dominasi Mitologi Arya

Salah satu cerita hebat yang kita berkembang (bahkan mulai dari) Eropa, Asia Tengah, Selatan, hingga ke Tenggara. Sebuag moda kisah yang dibangun oleh peradaban Arya, tentang penaklukan sevuah bangsa yang kemudian memuliakan dirinya sebagai cikal bakal lahirnya bangsa baru. Cerita tentang Ramayana dimana Rama , raja pendatang yang cakap berperang, cakap ilmu, cakap wajah bahkan cakap meilih istri. Kecakapan inilah yang membuat iri penguasa lokal , tenang kecakapan memilih Istri Sinta.

Maka raja nun sakti Dasamuka Raja Alengka pun menculik Sinta. Rama yang dibantu adiknya yang tampan, Laksmana pun akhirnya mengahakan Raja Alengka yang kesaktiannya konon mampu membuat "dewa pun sembunyi karena takutnya". Dan dengan bantuan ribuan , mungkin jutaan kera, dipimpin Hanuman " Sang Angkara Murka", raksasa Rahwana pun tumbang.  Berjayalah bangsa Arya , bangsa pendatang, dengan ciri khas : kulit putih, rambut ikal/lurus, wajah oval, dari yang sebelumnya bangsa penguasa lokal, dengan identitas biologis yang berkulit gelap, mata hitam rambut keriting, dan tubuh relatif pendek.

Mitologi penaklukan oleh bangsa pendatang pada bangsa lokal itulah yang biasa kita sebut dengan kolonialisasi dalam bahasa modernnya. Rahwana sesungguhnya adalah Hero bagi Pulau Cylon - pulau terakhri pengasingannya- atau yang tenar dengan Srilangka (Sri Alengka). Pola inilah yang tumbuh subur dengan berbagai varian dalam komunitas lain.

Arya Di Jawa

Pola yang sama nampaknya muncul di negiri kita , negeri kepulauan ini. Setidaknya di pulau jawa dari asal usul cerita pembentukan alfabhet jawa atau yang biasa dikenal aksara jawa. Adalah Mangkunegara IV yang mencoba menetapkannya tanpa ada satu pujangga pun yang mencoba membantahnya setelahnya.

Sebagaimana yang umum diketahui, bermula dari kedatangan pangeran dari India Selatan bernama Ajisaka , dalam berbagai versi, mengabdi pada raja lokal yang perkasa, digdaya, tapi bengis penuh angkara murka, Dewata Cengkar.  Karena tak kuat melihat penderitaan rakyat sang pangeran mundur dari jabatannya.  Sebelum mundur maka raja menwari permintaan terakhir kepada Ajisaka. Ajisaka hanya meminta satu petak tanah seluas penutup kepalanya. Raja tertawa karena permintaannya hanya segitu. Ajisaka kemudian meningkatkan permintaan menjadi sepetak tanah yang kau lompati dari kain tersebut. Singkat cerita kain tersebut bisa memanjang ke mana saja langkah raja pergi. Raja nan sakti mandraguna ini pun mencoba menggunakan kekuatannya untuk melangkahkan kaki sejauh mungkin. Hingga akhirnya raja terdepak hingga ke Banyuwangi dan salah satu asal - usul pulau Dewata.

Alasan Arkeologis

Betapa gamblang sebenarnya analogi yang digambarkan. Tapi apakah terlintas di benak kita untuk berpikir bahwa pada Tokoh  - tokoh antagonis tersebut memiliki riwayat dan jatidir lain dari yang diceritakan. Ya, sejenak kita terlalu terpaku dengan statement bahwa Antagonisme bukan saja harus dilawan tapi juga dienyahkan, dilenyapkan dari bumi bahkan dihapus dari Ingatan. Seolah - olah kita tak mau tahu tentang seluk beluknya.

Satu Eksistensi Mozaik Indonesia

Disorientasi, kekacauan atau chaos kebudayaan ini  memperlihatkan ketahan budaya kita sebenarnya mengalami guncangan akibat benturan budaya yang sangta keras. Dimulai dari kolonialisme, modernisme, dan demokratisme belakangan, ktia seperti tersaruk - saruk mengais identitas bagi diri sendiri. Bagi sebuah kepulauan seperti negeri ini, kecendurngan untuk melihat adanya satu identitas tunggal jga menjadi ideal bagi kebnyakan, sebagaimana juga bangsa2 lain. Akahirnya usaha - usaha menyatukan seluruh unsur ideal, yang pernah ada, yang dianggap ada, bahkan diharapkan ada memberi landasan moral. Usaha keras tersebut, bukan saja berjalan tanpa arah, menimbulkan pertentangan, meminta korban (khasanah budaya lokal yang mati dan hilang), tapi juga menafikan suatu realitas yang sebenranya membangun kebredaaan peradaban kepualauan oitu sendiri , yaitu : keberagaman budaya.

Ya pada akhirnya manusia akan menyadari bahwa tidak ada entitas tunggal untuk itu semua. Yang ada hanyalah satu susunan berbagai variasi itu, dan berbagai warna dan aneka itu. Kita adalah sebuah mozaik, dari pecahan keramik - keramik simbol, sebuah gerabah yang disususun dari rekatan - rekatana pecahan gerabah, gerabah yang rapuh. Bahkan tak apa, jika suatu ketika, gerabah yang rapuh ini jatuh dari meka, dan tertebar berserakan ke segala arah. Mekanisme perekatan yang dilakoni ribuan tahun akan memabwa pecahan - pecahan itu ke dalam satu gerabah baru. Sementara di bagian dunia lain, ia tinggal menjadi separasi, pecahan - pecahan yang berdiri sendiri. Karena Ego, karena logika modern, atau kaena prosedur demokratsinya.

Barangkali, itulah mebgapa Indonesia Bertahan sampai kini.


Baca selengkapnya

Kamis, 11 Mei 2017

Review Novel : 40 DAYS IN EUROPE

Review Novel : 40 DAYS IN EUROPE

40 DAYS IN EUROPE
KARYA : Maulana M. Syuhada
Selamat pagi dunia, mencoba produktif kali ini aku akan mencoba mereview sebuah novel yang menurut aku bagus dan menginspirasi (wkwk karena kebetulan aku bacanya ini). Diungkit dari kisah kelompok musik Indonesia menaklukan daratan Eropa, novel ini menceritakan perjuangan grup music angklung dari Bandung yang dengan dana yang minimum dapat sukses roadshow di daratan eropa.
Sedikir menceritakan profil penulis, Kang Maul (sapaan akrab penulis) adalah seseorang lulusan Teknik Industri ITB 2001, ia lalu pergi ke Jermanuntuk melanjutkan pendidikan master di bidang Manajemen Produksi di Technische Universitaet Hamburg – Harburg. Kang maul adalah seorang aktivis. Ya, lebih tepatnya aktivis seni. Baik semasa SMA di SMA 3 Bandung, Kuliah di ITB , sampe S2 di Jerman tak ada sedikitpun waktu dilalui tanpa pagelaran seni yang diikuti olehnya. Ya dia memang pecinta seni sejati, khususnya seni sunda. Aku yang bahkan bukan orang sunda sedikit demi sedikit tertarik dengan kesenianya, terutama Angklung. Dimana alat yang terbuat dari potongan bambu ini bisa menghasilkan pertunjukkan yang luar biasa dengan nada – nada yang hebat.  Angklung, alat musik luar biasa yang mengkolaborasikan ritme, kekompakan, dan timing yang tepat.
“ Untuk 35 orang saudaraku yang senantiasa percaya akan kekuatan ikhtiar, keajaiban doa, dan kebesaran Tuhan.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Dengan kerja keras, doa , dan pertolongan- Nya, segala yang tak mungkin bisa menjadi mungkin.”
Tulisan Kang Maul di halaman pertama bukunya, yang akhirnya ketika aku selesai membacanya perlahan aku mulai mengamini kalimat itu.  Bagaimana perjuangan mereka untuk menghadapi berbagai kendala yang dihadapi mulai dari waktu latihan, dana kegiatan, hingga perizinan dari satu negara ke negara lainnya. Rangkaian konser yang diberi nama ESA (Expand the Sound of Angklung) ini menceritakan secara lengkap bagaimana tim Angklung dari SMA 3 dan para senior alumni yang ikut bergabung dalam tim ini secara bahu membahu saling berjuang demi mewujudkan mimpi mereka keliling Eropa. Aku yang dari dulu bermimpi pengen ke Eropa jadi terbawa suasana menegangkan dari setiap halaman demi halaman dari buku ini.
Sedikit me review cerita, Kang maul yang seperti aku katakana tadi adalah seorang mahasiswa program master pada salah satu kampus di Jerman. Ya walaupun kesannya mahasiswa program master tapi tetap saja kang maul ini masih menerapkan pola hidup anak – anak S1 ala perantauan. Hehe, ini kualami banget, dimana prinsip pengetatan budget adalah prinsip utama setelah sholat 5 waktu. Ya kang maul juga sama, walaupun embel – embel kualiah luar negeri tapi kehidupan tetap sama saja, no foya- foya, no hedon, and keep the money still balanced. Di Jerman kang maul juga sering tampil dalam acara – acara atau pekan seni budaya Indonesia yang biasaya diadakan Kedubes Negara – negara atau bahkan kota – kota yang bersangkutan. Kang maul juga sering melamar kerja sampingan untuk membiayai kehidupan kuliahnya, wkwk benar – benar sebuah perjungan. Gak semua kerja sampingan itu enak, ya walaupun dapet uang tapi juga menguras tenaga dan hati, hehe. Seringkali dia ditolak buat ngelamar proyek ataupun pekerjaan sampingan buat mahasiswa di Jerman (namanya aku rada lupa maafkeun). Tapi dia selalu aja daftar lagi, daftar lagi, kalau kata kang maul, begitulah mental mahasiswa, seperti halnya cinta sudah ditolak berkali – kali masih saja menaruh harapan. .
Singkat cerita 9 kota tujuan tour de Europe ini mendapatkan sinyal hijau. 9 kota ini meliputi tiga buah kota festival (Aberdeen, Cerveny Kostelec, dan Zakopane) dan enam buah kota konser (Bremen, Berlin, Brussel, Praha, dan Muenchen). Ohiya, festival dan konser maksudnya, kalau festival adalah negara yang kebetulan pada saat itu mengadakan festival budaya di salah satu kotanya dan kita dapat turut hadir meramaikan pagelaran musikal nya, sedangkan konser adalah kota yang kita datangi untuk keperluan kita sendiri mengadakan pagelaran musik. Biasanya festival sudah dibuka pendaftrannya jauh – jauh hari. Dan untuk konser hanya sebagai kota – kota buffer (penyangga) untuk keberangkatan dan mengisi jeda kosong dari satu kota festival ke kota festival yang lain. Ohiya walaupun saya langsung loncat ke ktoa – kota yang akhirnya tim ESA 2 dapatkan, tapi sebenarnya perjuangan mereka mendapatkan konfirmasi antar kota tak sesingkat yang saya ceritakan, dan malah menjadi hal yang seru. Kang Maul yang notabene satu – satunya anggota tim yang tinggal di Eropa lah yang harus bersusah payah mengontak dan konfirmasi satu persatu kota tujuan. Lucunya, seringkali dia harus berangkat ke negara – negara tujuan tersebut untuk mendatangi pihak panitia dan EO yang sanggup mengani mereka, dengan tetap memepertahankan prinsip PENGETATAN BUDGET. Sementara kak desiree yang di Indonesia mengurus visa anak – anak ESA yang bolak – balik Jakarta – bandung yang dulu belum ada kereta. Ohiya sebelumnya mengapa tadi tertulis tim ESA 2 , karena tim ESA pertama juga sudah pernah ada. Dan itu waktu kang Maul amsih kuliah di ITB, hanya saja daftar tour eropanya lebih sedikit daripada yang tim ESA 2 kali ini.
Dan akhirnya dimulailah pertualangan menjelajah kota – kota tujuan ini. Canda , tawa, haru, panik, marah, kesal bercampur jadi satu pada rangkaian tur tersebut. Dan asal tahu saja mereka berangkat dengan dana jauh memenuhi target tersenlenggaranya acara. Ya kalua kata orang Surabaya Bonek aja (Bondo Nekat). Dari masalah barang – barang yang overload dan harus dikirmkan kemudian hari padahal besok nya mereka ada konser perdana, dari Peti Bass Betot yang harus ditinggal di salah satu kota karena tidak bisa memasukan ke bis, berganti kostum di Bisk arena dikejar – kejar waktu, hingga acara pengucapan janji cinta di bawah Menara Eiffel saat tur di Paris. Dan di novel ini cerita dan masalah akan sangat amat kompleks lagi dan mendebarkan.
Pada saat mereka menyelesaikan semua tur, sesaat semuanya tampak sudah selesai. Tapi sebenarnya jauh dari itu semua proses yang memakan emosi dan hati itulah yang mengajarkan mereka banyak hal. Mereka yang bernagkat dengan DEFISIT besar pulang dengan SURPLUS besar. Surplus itu sebagian besar bukan uang, melainkan pengalaman hidup yang sangat dikenang. Sepanjang kita masih percaya akan keberadaan –Nya , sepanjang itulah kesempatan selalu terbuka. Jika Tuhan berkehendak, dengan perjuangan dan keyakinan tinggi, bukit seterjal apapaun bisa didaki!.
Sekian review dari saya, direkomendasikan untuk lebih membaca bukunya disbanding percaya kata – kata reviewers ini.Terakhir saya kutip kalimat dari Kang maul sebagai penutup review novel ini.
“ Jika mereka tahu bahwa di Bandung biasanya kami makan lagsung dengan tangan bukan garpu dan pisau yang ribet seperti ini. Dan bagi saya itulah cara makan paling nikmat sedunia. “ –Maulana M. Syuhada


Baca selengkapnya