Mozaik Manusia Indonesia
Dikutip dari buku yang judulnya sama
Bagaimana kita menyadari kenyataan diri, sebagai manusia, sebagai bagian dari komunitas atau sebuah bangsa? Realitas manusia sebagai pribadi atau kolektivitas sebenearnya selalu berada dalam keadaan goyah. Tak ada satu pun pengikat yang begitu kuat dan mematri keberadaan manusia.
Tapi manusia bagaimanapun - ia sebenarnya adalah satu spesies tunggal yang pada mulanya tak berbeda, tak beridentitas, tak berkelas, dan sebagainya- ternyata terus membutuhkan suatu hal yang mendakam bahwa ia "ada". Karena "kenyataan" keberadaan atau eksistensi itulah yang memberi merkea alasalan untuk apa saja: untuk tahu dimana ia, kemana berjalan, dari mana datangnya; untuk hidup, atau sekedar untuk menyatakan "ini aku". Yang membuatnya kontemporer adalah pemaknaan atau penetapan indikator yang selalu berubah seiiring perkembangan zaman.
Secara umum, kebanyakan manusia ( dalam level maupunmatra, apa pun dia) lebih kerap menggunakan alasan - alasan tradisional untuk menegaskan keberadaan jati diri seseorang, yang umumnya berimplikasi pada gerak mundur melihat realias - realitas yang pernah ada dalam hitoriografi dirinya. Di posisi ini, sesungguhanya kita (manusia) selalu menghadapi problemasi yang cukup serius. Ketika sumber kesejarahan sesungguhnya bukanlah hal yang memiliki garansi dalam pertanggungjawaban kebenaran, akurasi, atau otentisnya. Betapapun tradisi adalah sesuatu yang liquid: mengambil bentuk sesuai sungai waktu yang engalirinya. Begitupun buku - buku sejarah, yang sangat kita mafhumi, sebagai hasil saru kosntruksi dari kekuatan - kekuatan dominan, baik secara politik, ekonomi, sosial atau kultural.
Dominasi Mitologi Arya
Salah satu cerita hebat yang kita berkembang (bahkan mulai dari) Eropa, Asia Tengah, Selatan, hingga ke Tenggara. Sebuag moda kisah yang dibangun oleh peradaban Arya, tentang penaklukan sevuah bangsa yang kemudian memuliakan dirinya sebagai cikal bakal lahirnya bangsa baru. Cerita tentang Ramayana dimana Rama , raja pendatang yang cakap berperang, cakap ilmu, cakap wajah bahkan cakap meilih istri. Kecakapan inilah yang membuat iri penguasa lokal , tenang kecakapan memilih Istri Sinta.
Maka raja nun sakti Dasamuka Raja Alengka pun menculik Sinta. Rama yang dibantu adiknya yang tampan, Laksmana pun akhirnya mengahakan Raja Alengka yang kesaktiannya konon mampu membuat "dewa pun sembunyi karena takutnya". Dan dengan bantuan ribuan , mungkin jutaan kera, dipimpin Hanuman " Sang Angkara Murka", raksasa Rahwana pun tumbang. Berjayalah bangsa Arya , bangsa pendatang, dengan ciri khas : kulit putih, rambut ikal/lurus, wajah oval, dari yang sebelumnya bangsa penguasa lokal, dengan identitas biologis yang berkulit gelap, mata hitam rambut keriting, dan tubuh relatif pendek.
Mitologi penaklukan oleh bangsa pendatang pada bangsa lokal itulah yang biasa kita sebut dengan kolonialisasi dalam bahasa modernnya. Rahwana sesungguhnya adalah Hero bagi Pulau Cylon - pulau terakhri pengasingannya- atau yang tenar dengan Srilangka (Sri Alengka). Pola inilah yang tumbuh subur dengan berbagai varian dalam komunitas lain.
Arya Di Jawa
Pola yang sama nampaknya muncul di negiri kita , negeri kepulauan ini. Setidaknya di pulau jawa dari asal usul cerita pembentukan alfabhet jawa atau yang biasa dikenal aksara jawa. Adalah Mangkunegara IV yang mencoba menetapkannya tanpa ada satu pujangga pun yang mencoba membantahnya setelahnya.
Sebagaimana yang umum diketahui, bermula dari kedatangan pangeran dari India Selatan bernama Ajisaka , dalam berbagai versi, mengabdi pada raja lokal yang perkasa, digdaya, tapi bengis penuh angkara murka, Dewata Cengkar. Karena tak kuat melihat penderitaan rakyat sang pangeran mundur dari jabatannya. Sebelum mundur maka raja menwari permintaan terakhir kepada Ajisaka. Ajisaka hanya meminta satu petak tanah seluas penutup kepalanya. Raja tertawa karena permintaannya hanya segitu. Ajisaka kemudian meningkatkan permintaan menjadi sepetak tanah yang kau lompati dari kain tersebut. Singkat cerita kain tersebut bisa memanjang ke mana saja langkah raja pergi. Raja nan sakti mandraguna ini pun mencoba menggunakan kekuatannya untuk melangkahkan kaki sejauh mungkin. Hingga akhirnya raja terdepak hingga ke Banyuwangi dan salah satu asal - usul pulau Dewata.
Alasan Arkeologis
Betapa gamblang sebenarnya analogi yang digambarkan. Tapi apakah terlintas di benak kita untuk berpikir bahwa pada Tokoh - tokoh antagonis tersebut memiliki riwayat dan jatidir lain dari yang diceritakan. Ya, sejenak kita terlalu terpaku dengan statement bahwa Antagonisme bukan saja harus dilawan tapi juga dienyahkan, dilenyapkan dari bumi bahkan dihapus dari Ingatan. Seolah - olah kita tak mau tahu tentang seluk beluknya.
Satu Eksistensi Mozaik Indonesia
Disorientasi, kekacauan atau chaos kebudayaan ini memperlihatkan ketahan budaya kita sebenarnya mengalami guncangan akibat benturan budaya yang sangta keras. Dimulai dari kolonialisme, modernisme, dan demokratisme belakangan, ktia seperti tersaruk - saruk mengais identitas bagi diri sendiri. Bagi sebuah kepulauan seperti negeri ini, kecendurngan untuk melihat adanya satu identitas tunggal jga menjadi ideal bagi kebnyakan, sebagaimana juga bangsa2 lain. Akahirnya usaha - usaha menyatukan seluruh unsur ideal, yang pernah ada, yang dianggap ada, bahkan diharapkan ada memberi landasan moral. Usaha keras tersebut, bukan saja berjalan tanpa arah, menimbulkan pertentangan, meminta korban (khasanah budaya lokal yang mati dan hilang), tapi juga menafikan suatu realitas yang sebenranya membangun kebredaaan peradaban kepualauan oitu sendiri , yaitu : keberagaman budaya.
Ya pada akhirnya manusia akan menyadari bahwa tidak ada entitas tunggal untuk itu semua. Yang ada hanyalah satu susunan berbagai variasi itu, dan berbagai warna dan aneka itu. Kita adalah sebuah mozaik, dari pecahan keramik - keramik simbol, sebuah gerabah yang disususun dari rekatan - rekatana pecahan gerabah, gerabah yang rapuh. Bahkan tak apa, jika suatu ketika, gerabah yang rapuh ini jatuh dari meka, dan tertebar berserakan ke segala arah. Mekanisme perekatan yang dilakoni ribuan tahun akan memabwa pecahan - pecahan itu ke dalam satu gerabah baru. Sementara di bagian dunia lain, ia tinggal menjadi separasi, pecahan - pecahan yang berdiri sendiri. Karena Ego, karena logika modern, atau kaena prosedur demokratsinya.
Barangkali, itulah mebgapa Indonesia Bertahan sampai kini.
Bagaimana kita menyadari kenyataan diri, sebagai manusia, sebagai bagian dari komunitas atau sebuah bangsa? Realitas manusia sebagai pribadi atau kolektivitas sebenearnya selalu berada dalam keadaan goyah. Tak ada satu pun pengikat yang begitu kuat dan mematri keberadaan manusia.
Tapi manusia bagaimanapun - ia sebenarnya adalah satu spesies tunggal yang pada mulanya tak berbeda, tak beridentitas, tak berkelas, dan sebagainya- ternyata terus membutuhkan suatu hal yang mendakam bahwa ia "ada". Karena "kenyataan" keberadaan atau eksistensi itulah yang memberi merkea alasalan untuk apa saja: untuk tahu dimana ia, kemana berjalan, dari mana datangnya; untuk hidup, atau sekedar untuk menyatakan "ini aku". Yang membuatnya kontemporer adalah pemaknaan atau penetapan indikator yang selalu berubah seiiring perkembangan zaman.
Secara umum, kebanyakan manusia ( dalam level maupunmatra, apa pun dia) lebih kerap menggunakan alasan - alasan tradisional untuk menegaskan keberadaan jati diri seseorang, yang umumnya berimplikasi pada gerak mundur melihat realias - realitas yang pernah ada dalam hitoriografi dirinya. Di posisi ini, sesungguhanya kita (manusia) selalu menghadapi problemasi yang cukup serius. Ketika sumber kesejarahan sesungguhnya bukanlah hal yang memiliki garansi dalam pertanggungjawaban kebenaran, akurasi, atau otentisnya. Betapapun tradisi adalah sesuatu yang liquid: mengambil bentuk sesuai sungai waktu yang engalirinya. Begitupun buku - buku sejarah, yang sangat kita mafhumi, sebagai hasil saru kosntruksi dari kekuatan - kekuatan dominan, baik secara politik, ekonomi, sosial atau kultural.
Dominasi Mitologi Arya
Salah satu cerita hebat yang kita berkembang (bahkan mulai dari) Eropa, Asia Tengah, Selatan, hingga ke Tenggara. Sebuag moda kisah yang dibangun oleh peradaban Arya, tentang penaklukan sevuah bangsa yang kemudian memuliakan dirinya sebagai cikal bakal lahirnya bangsa baru. Cerita tentang Ramayana dimana Rama , raja pendatang yang cakap berperang, cakap ilmu, cakap wajah bahkan cakap meilih istri. Kecakapan inilah yang membuat iri penguasa lokal , tenang kecakapan memilih Istri Sinta.
Maka raja nun sakti Dasamuka Raja Alengka pun menculik Sinta. Rama yang dibantu adiknya yang tampan, Laksmana pun akhirnya mengahakan Raja Alengka yang kesaktiannya konon mampu membuat "dewa pun sembunyi karena takutnya". Dan dengan bantuan ribuan , mungkin jutaan kera, dipimpin Hanuman " Sang Angkara Murka", raksasa Rahwana pun tumbang. Berjayalah bangsa Arya , bangsa pendatang, dengan ciri khas : kulit putih, rambut ikal/lurus, wajah oval, dari yang sebelumnya bangsa penguasa lokal, dengan identitas biologis yang berkulit gelap, mata hitam rambut keriting, dan tubuh relatif pendek.
Mitologi penaklukan oleh bangsa pendatang pada bangsa lokal itulah yang biasa kita sebut dengan kolonialisasi dalam bahasa modernnya. Rahwana sesungguhnya adalah Hero bagi Pulau Cylon - pulau terakhri pengasingannya- atau yang tenar dengan Srilangka (Sri Alengka). Pola inilah yang tumbuh subur dengan berbagai varian dalam komunitas lain.
Arya Di Jawa
Pola yang sama nampaknya muncul di negiri kita , negeri kepulauan ini. Setidaknya di pulau jawa dari asal usul cerita pembentukan alfabhet jawa atau yang biasa dikenal aksara jawa. Adalah Mangkunegara IV yang mencoba menetapkannya tanpa ada satu pujangga pun yang mencoba membantahnya setelahnya.
Sebagaimana yang umum diketahui, bermula dari kedatangan pangeran dari India Selatan bernama Ajisaka , dalam berbagai versi, mengabdi pada raja lokal yang perkasa, digdaya, tapi bengis penuh angkara murka, Dewata Cengkar. Karena tak kuat melihat penderitaan rakyat sang pangeran mundur dari jabatannya. Sebelum mundur maka raja menwari permintaan terakhir kepada Ajisaka. Ajisaka hanya meminta satu petak tanah seluas penutup kepalanya. Raja tertawa karena permintaannya hanya segitu. Ajisaka kemudian meningkatkan permintaan menjadi sepetak tanah yang kau lompati dari kain tersebut. Singkat cerita kain tersebut bisa memanjang ke mana saja langkah raja pergi. Raja nan sakti mandraguna ini pun mencoba menggunakan kekuatannya untuk melangkahkan kaki sejauh mungkin. Hingga akhirnya raja terdepak hingga ke Banyuwangi dan salah satu asal - usul pulau Dewata.
Alasan Arkeologis
Betapa gamblang sebenarnya analogi yang digambarkan. Tapi apakah terlintas di benak kita untuk berpikir bahwa pada Tokoh - tokoh antagonis tersebut memiliki riwayat dan jatidir lain dari yang diceritakan. Ya, sejenak kita terlalu terpaku dengan statement bahwa Antagonisme bukan saja harus dilawan tapi juga dienyahkan, dilenyapkan dari bumi bahkan dihapus dari Ingatan. Seolah - olah kita tak mau tahu tentang seluk beluknya.
Satu Eksistensi Mozaik Indonesia
Disorientasi, kekacauan atau chaos kebudayaan ini memperlihatkan ketahan budaya kita sebenarnya mengalami guncangan akibat benturan budaya yang sangta keras. Dimulai dari kolonialisme, modernisme, dan demokratisme belakangan, ktia seperti tersaruk - saruk mengais identitas bagi diri sendiri. Bagi sebuah kepulauan seperti negeri ini, kecendurngan untuk melihat adanya satu identitas tunggal jga menjadi ideal bagi kebnyakan, sebagaimana juga bangsa2 lain. Akahirnya usaha - usaha menyatukan seluruh unsur ideal, yang pernah ada, yang dianggap ada, bahkan diharapkan ada memberi landasan moral. Usaha keras tersebut, bukan saja berjalan tanpa arah, menimbulkan pertentangan, meminta korban (khasanah budaya lokal yang mati dan hilang), tapi juga menafikan suatu realitas yang sebenranya membangun kebredaaan peradaban kepualauan oitu sendiri , yaitu : keberagaman budaya.
Ya pada akhirnya manusia akan menyadari bahwa tidak ada entitas tunggal untuk itu semua. Yang ada hanyalah satu susunan berbagai variasi itu, dan berbagai warna dan aneka itu. Kita adalah sebuah mozaik, dari pecahan keramik - keramik simbol, sebuah gerabah yang disususun dari rekatan - rekatana pecahan gerabah, gerabah yang rapuh. Bahkan tak apa, jika suatu ketika, gerabah yang rapuh ini jatuh dari meka, dan tertebar berserakan ke segala arah. Mekanisme perekatan yang dilakoni ribuan tahun akan memabwa pecahan - pecahan itu ke dalam satu gerabah baru. Sementara di bagian dunia lain, ia tinggal menjadi separasi, pecahan - pecahan yang berdiri sendiri. Karena Ego, karena logika modern, atau kaena prosedur demokratsinya.
Barangkali, itulah mebgapa Indonesia Bertahan sampai kini.