Rabu, 04 Maret 2020

MIMPI

MIMPI

#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku
taken just before the colleger exam
Waktu, sebuah hal yang sangat berharga bagi sebagian orang. Tidak, harusnya semua orang. Bagiku waktu adalah sebuah guru yang selalu mengingatkan tatkala sang murid lalai dan abai terhadapnya. Waktu juga yang akan mengajari kita menjadi dewasa, bagaimana tuk bersepakat dalam ragam baurnya denting dawai kehidupan. Dan waktu juga yang akhirnya membuat kita sadar, kita bukanlah pemiliki Sang Waktu.

high school life crisis

Hari ini adalah hari pengumuman SNMPTN. Ya, hari yang ditunggu — tunggu oleh mayoritas anak SMA sederajat di seluruh penjuru tanah air. Namun, sebelum itu ada yang harus dirangkai terlebih dahulu sebelum kotak pandora itu resmi dibuka.
Semester 6 SMA, adalah masa-masa dimana setiap anak SMA mengalami yang namanya a high school life crisis. Ya, jika kita nanti sudah besar problema dan pertanyaan horror yang kita hadapi seputar : Kapan Lulus, Mau kerja dimana, hingga Kapan Nikah?. Sedangkan satu pertanyaan yang bikin was-was dan yang bikin tidak bisa tidur saat SMA adalah “Mau Lanjut Kemana?”.
Masalahnya adalah menjawab pertanyaan ini bukan sekedar seperti kita mau bepergian rekreasi entah ke mana. Lebih dari itu, ini melibatkan perasaan, mimpi dan juga perjuangan yang akan bermuara kepada aspek ‘Harga Diri. Mungkin orang akan menganggap lebai hal ini. Tapi bagiku dulu yang sempat merasakan dag-dig-dug nya, hal ini adalah ikrar ku kepada orang-orang yang bertanya dan aku ceritakan, bahwasanya aku suatu saat akan mengijakkan kaki disana.
Singkatnya dari waktu-waktu perenungan dan segudang saran baik yang masuk dengan sendirinya ataupun yang dikonsultasikan sedemikian terencana aku memutuskan untuk masuk ITB. Hal ini bukan tanpa sebab. Pertama, dari dulu aku ingin sekali ke Bandung, bagiku Bandung adalah salah satu kota terindah di Indonesia dengan segala keistimewaannya dan aku ingin menghabiskan 4 tahun masa kuliahku disana. Kedua, sudah saatnya aku harus mencoba mandiri dan dewasa bagi diriku sendiri dan keluargaku. Ya, paradigma tentang melanjutkan sekolah yang ‘dekat & historis keluarga’ ingin kubuang jauh-jauh. Karena aku sadar saatnya sekarang aku harus berkembang dengan keluar zona nyaman. Ketiga, aku selalu ingin mencari kolam yang besar untukku berenang, ya memang menantang, namun aku sadar ketika aku bisa mengarunginya maka aku akan menjadi pribadi yang lebih hebat sebelumnya. Dari semua alasan itu aku memutuskan untuk masuk ITB, salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
Namun, aku adalah aku yang hanya punya mimpi selangit namun tidak punya action plan untuk mewujudkan mimpi itu. Ya, aku sebelumnya tidak memikirkan peluang diterimanya siswa di SMA ku di ITB. Setelah resmi mendeklarasikan niatanku untuk masuk kesana, aku baru sadar peluang masuk ITB hanya 0.004% tiap tahunnya dari sekolahku, itupun sudah aku sedikit kasih pembulatan untuk rasio. Terlebih lagi persaingan secara nasional juga sangat ketat, memang sebuah hal yang wajar terlebih semua anak SMA juga pasti akan mendambakan ke arah sana. Tidak apa-apa, setidaknya aku cukup percaya diri dan idealis (tapi tidak realistis) melihat masa depanku akan berkuliah disana. Dan mulai saat itu aku telah bertekad bulat bahwa pelabuhanku selanjutnya ada di sana.
Tiap harinya, setiap ada jam kosong pasti kugunakan untuk mampir ke ruang BK. Bukan untuk cari tempat istirahat, namun mencari ketentraman hati dengan berkonsultasi dan melihat peta persaingan di sekolah. Ya, walaupun sebenarnya hal itu tidak terlalu signifikan berubah. Ohiya aku berusaha memanfaatkan waktu luang untuk melaksanakan sholat Dhuha di Masjid Sekolah. Karena aku sadar, semua rencana terbaik ada pada-Nya, maka yang mampu aku perjuangkan adalah mengetuk pintu hati-Nya agar mendekatkan rencana yang aku punya menjadi rencana terbaik-Nya.
Akhir masa SMA kugunakan lebih banyak waktu di sekolah. Selain mengikuti tambahan pelajaran dan try out, aku juga lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman yang aku yakin akan berpisah sebentar lagi dengan jalannya masing-masing. Satu hal yang aku usahakan, aku ingin membuat farewell party untuk seluruh temanku satu angkatan. Ya, hitung-hitung menambah momen kenangan di ujung penghabisan.
Ada cerita unik, semasa aku proses inputan pilihan kuliah di SMA. Ya, aku baru sadar Glory (Rangers sisa yang masuk SMA 1) juga ternyata memilih ITB sebagai salah satu labuhan berikutnya. Dulu, waktu kelas XI aku pernah berbincang-bincang selama sepulang sekolah di motor terkait kehidupan pasca SMA. FYI, selama 3 tahun kita selalu berangkat bareng ke sekolah dengan motor megapro hijau tua 2006ku. Ya, disana kita berbincang tentang kemana kita akan melanjutkan perjalanan setelah ini. Aku dengan mantap bilang: “aku ingin ke Bandung, Paris Van Javanya Indonesia, soal jurusan aku tak tahu yang penting aku ingin ke sana”. Bahkan dulu, sempat aku menuliskan mimpiku di secarik kertas dengan aksara jawa lalu aku posting di social mediaku sebagai deklrasi bahwa mimpiku bulat ke sana. Lalu Glory menyambut, “aku mungkin akan melanjutkan yang dekat yaitu di Semarang soalnya sudah ada kakak laki-lakiku di sana”. Dan kemungkinan besar glory akan melanjutkan ke program studi Kimia sesuai dengan ayahnya yang guru kimia. Memang saat itu dia salah satu calon potensial di olimpiade kimia karena kecerdasannya.
Waktu telah berselang, Aku melihat hingga mendekati hari-hari akhir pendaftar dari SMAku yang memilih ke ITB ada sekitar 7–8 orang. Dengan peluang yang ada, kemungkinan hanya satu yang akan lolos, syukur-syukur maksimal 2 namun dengan jurusan yang berbeda dan itupun hampir mustahil. Secara peringkat aku berada di urutan 3 dari 8 anak yang ada. Dan sudah pasti akan susah lolosnya, namun nama yang membuatku kaget adalah ada nama Glory di dalam pendaftar yang ada. Jelas nilaiku dan dia berbeda jauh apalagi ditambah segi prestasi akademik. Namun hal yang tidak kusangka bahwa kami memilih fakultas yang sama di list pilihan yang ada yaitu FTI. Ya, aku pun segera menggantinya dengan FTSL bukan karena aku merasa kalah dalam bersaing, tapi lebih dalam dari itu, aku tidak ingin bersaing dengan sahabat baikku sendiri, biarlah dia menggapai rezekinya jika memang itu jalannya. Namun, yang aku baru sadar setelah selesai waktu pendaftaran SNMPTN, Glory mengganti pilihannya ke FMIPA ITB, sebuah hal yang aku tidak habis pikir, karena aku rasa dengan pilihan sebelumnya pun aku yakin dia pasti lolos karena notabene dia salah satu pemenang olimpiade nasional. Akhirnya hingga selesai masa SNMPTN tidak ada yang memilih FTI di pilihan daftar jurusan yang diinginkan.
Selesai ujian nasional, aku memutuskan untuk akhirnya belajar mempersiapkan SBMPTN. Hal itu juga didasarkan oleh plan back-up ketika aku tidak diterima setidaknya aku sudah siap mengikuti SBMPTN walaupun aku masih optimis akan masuk. Selain itu juga aku pribadi yang tidak produktif ketika tidak ada kesibukan maupun rutinitas, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti temanku untuk bimbingan belajar ke kota Semarang 120 km jauhnya dari rumahku. Ya, hitung-hitung belajar mandiri dan mencoba membebaskan diri dari kepenatan di Rembang. Aku naik motor bareng teman-temanku dan mencari kos-kosan di sana. Aku memilih tempat di dekat Tembalang karena ada saudara di sana yang berkuliah di Undip, hitung-hitung melihat bagaimana kehidupan seorang mahasiswa.

Tarian Takdir

Hingga akhirnya waktu pengumuman pun tiba. Saat itu keadaanya aku berada di Semarang bersama teman-temanku di kos-kosan menunggu pengumuman yang diinfokan dapat diakses di Jam 5 sore. Kami pun bersama — sama memandangi laptop yang hanya satu dan berganti-gantian membuka pengumuman. Ada temanku yang tidak sabar, akhirnya memutuskan membukanya via HP. 2 temanku akhirnya sudah membuka, satu diterima dan satu lagi harus berbesar hati melihat dirinya tidak lulus SNMPTN. Sekarang giliranku yang membuka, namun karena traffic websitenya penuh akhirnya aku memutuskan membukanya setelah selesai sholat magrib sembari berdoa dan mencari waktu yang agak tenang. Sholatku benar-benar khusyuk seraya meminta kelancaran hasil dari Allah Swt. Akhirnya ketika masih berada di masjid setelah usai sholat dan berdoa aku mencoba memberanikan diri membuka pengumuman yang ada. Dan tulisan yang ada:
Maaf, anda belum dinyatakan lulus SNMPTN.
Ya, tulisan dengan background warna merah itu menghiasi pengumuman di HPku. Terpuruk, dan hancur seketika perasaan saat itu. Namun, aku harus beranjak pulang ke kosan untuk setidaknya menenangkan diri di sana. Sampai di sana aku sudah dinanti-nanti dengan teman-temanku yang sudah bercanda-canda dengan bahasan lainnya, yang aku bisa berikan hanya tatapan senyum dengan menggelengkan kepala. Teman-temanku sudah paham apa artinya, sambil memberikan semangat untuk ke depannya.
Aku harus menelpon orang tua, setidaknya memberikan kabar agar mereka tidak diselimuti rasa kekhawatiran. Orang yang berani kutelpon adalah Ibu, disana aku langsung menyampaikan permintaan maaf karena belum bisa memberikan kabar bahagia untuk beliau. Beliau paham dan akan berusaha menyampaikan dengan baik-baik ke Ayah. Di ujung pembicaraan sebelum ditutup aku berjanji kepada Ibuku akan membayar lunas semua kerja kerasnya dengan masuk ITB. Itu Janjiku.
Aku awalnya tidak mau pulang, karena akan terus merasa bersalah terutama kepada keluargaku yang telah memberikan support yang maksimal kepadaku. Tapi, waktu menyuruhku harus pulang, karena aku harus diwisuda terlebih dahulu di sekolah sekaligus menjadi ketua panitia acara perpisahan. Ya, aku harus belajar membesarkan hati dan tetap mendongakkan kepala karena kegagalan bukan akhir dari segalanya.
Hari-hari pertama aku pulang lagi ke Rembang dan main ke sekolah bertemu teman-teman untuk membahas acara perpisahan, obrolan tidak lepas dari seputar kehidupan pasca SMA. Ada yang membahas persiapan berkas-berkas yang baru saja diterima SNMPTN atau bahkan ada yang sudah membahas rencana kampus swasta mana yang akan dituju. Aku cuek, bagiku mimpi masuk ITB masih terpatri kuat di diri ini seraya selalu berdoa untuk minta dimudahkan jalannya oleh Allah SWT. Namun, ada satu kejadian yang membuatku merasakan kembali bagaimana terpuruknya arti kegagalan. Saat itu aku bersama salah satu temanku datang ke ruang guru untuk mencari salah seorang guru guna meminta izin penggunaan tempat, ketika sudah memasuki koridor ruangan aku berpapasan dengan salah seorang guru yang menanyakan kabar SNMPTN kami, ya temanku ini lolos sedangkan aku tidak. Kemudian, salah satu guru tadi akhirnya hanya berbincang-bincang dengan temanku tadi, berbicara tentang seputar PTN yang ia terima dan alumni-alumni sekolahku yang sudah sukses di sana. Sedangkan aku, harus terima berdiri mematung mendengarkan yang sebenarnya malas aku dengarkan. Pun ketika di ruang guru hal yang terjadi sama saja, semua guru hampir hanya berbincang dan menyelamati temanku yang lolos ini. Rencana kami yang awalnya hanya ingin mencari salah seorang guru, jadi berujung pada bertemu semua guru yang ada di sana. Memang, bagi kami sekolah daerah, lolos SNMPTN merupakan suatu yang langka dan prestise, jadi tak ayal semua orang mengidam-idamkan mendapatkannya apalagi pengumumannya rutin tiap tahun selalu eksklusif di post di FB Sekolah dan semua orang bisa membacanya. Dulu semenjak kelas X, aku hanya bisa mengucapkan selamat kepada kakak-kakak yang lolos dan seraya berdoa bisa menjadi seperti dirinya. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi sekarang.
Meskipun dirundung tekanan batin yang luar biasa selama di Rembang, syukurnya acara farewell party kami berjalan sukses. Aku banyak mendapatkan ucapan terimakasih dari para teman-temanku atas acaranya yang berkesan, sembari aku membalas ucapan mereka dengan berbalas terimakasih sambil menyemangati pula terkhusu teman-teman yang kemarin senasib SNMPTNnya denganku untuk sama-sama berjuang kembali. Di titik ini aku jadi lebih rasional dan realistis, dengan tekad tidak mau membuat orang tua kecewa dua kali aku berangkat ke Semarang dengan membawa segudang tekad yang ingin diwujudkan. Beberapa hari sebelum keberangkatan ini, aku mendapatkan kabar dari ibu bahwa ayah sekecewa itu anaknya ini tidak lolos SNMPTN, selain karena ada teman mainku yang lolos SNMPTN notabene ayah tahu bahwa aku lebih mampu dari dia tapi ternyata aku tidak berhasil, maka kekecewaan itu diluapkanlah ke ibuku. Ya, aku hanya bisa menenangkan ibu dengan janji bahwa aku akan pulang dengan membawa kabar baik. And the journey begins.
Selama masa-masa penatian SBMPTN , aku akhirnya mendaftar ke berbagai perguruan tinggi lain baik yang kedinasan maupun negeri lainnya. Hanya saja aku mengurungkan niat untuk mendaftar ke swasta dikarenakan persoalan biaya walau aku tahu semakin akhir pendaftaran kampus swasta akan semakin mahal. Akhirnya aku memilih mendaftar STIS sebagai perguruan tinggi ikatan dinas, STKS di Bandung sebagai perguruan tinggi kedinasan, dan UGM dalam jalur seleksi mandiri. Pilihan-pilihan itu berdasrkan minat dan juga harus memilih karena jadwal tes nya bersamaan dengan kampus-kampus lain, contoh STIS & STAN, juga ujian mandiri UI & UGM. Dan pastinya sambil menyiapkan untuk tes SBMPTN. Prinsipku pantang pulang hingga berhasil membawa kesuksesan.
Tepat di akhir juni dalam waktu-waktu ramadhan mendekati 10 hari terakhir aku memutuskan pulang. Kebetulan saat itu semua tes sudah aku selesaikan dan tinggal menunggu pengumuman. Aku memutuskan pulang menemani keluarga di rumah, sambil menunggu pengumuman-pengumuman itu yang datang silih berganti. Dan Wallahu Alam, di akhir masa penatian, ternyata aku diterima di 4 perguruan tinggi tersebut. Ya, sekarang aku diberikan Allah jalan yang bahkan tidak aku duga-duga sebelumnya, sekarang aku datang kepada keluargaku dengan membawa opsi-opsi kampus yang bisa aku pillih dan ke-empatnya merupakan salah satu kampus pilihan di Indonesia. Namun balik lagi, keluarga mengembalikan semua keputusannya kepadaku. dan akhirnya dengan mantap aku memutuskan untuk memilih ITB sebagai jalan petualanganku selanjutnya.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5)
Baca selengkapnya

Selasa, 03 Maret 2020

Melesat

Melesat


#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku
“Masa SMA adalah masa yang tidak akan terlupakan”
Mungkin perkataan ini benar adanya, aku mengalami begitu banyak warna-warni pengalaman hidup yang baru semasa SMA. Mencoba menjadi pribadi yang lebih baik dan matang ke depannya. Pergolakan batin mulai dari kebahagiaan hingga keharuan lengkap mewarnai lika-likunya. Aku sadar fase bertumbuhku di sini. Berubah dari remaja yang masih ragu-ragu menjadi seorang muda yang mencari jatidirinya.
Sekolahku bernama SMA N 1 Rembang. Seperti tidak ada perubahan antar nama SMP ku yang berbeda hanya satu huruf di akhir yang berubah. Bahkan sekolahku ini pun dua-duanya bersebelahan hanya dipisahkan oleh kali yang bermuara di pesisir laut lepas. Aku masuk melalui serangkaian tes, hal ini wajar karena SMA ku merupakan salah satu favorit di daerahku. Jika ditanya kenapa memilih SMA ini? selain alasan yang sudah dijabarkan di kalimat sebelumnya, hal lain adalah ‘dekat’ sebuah hal yang sudah sangat mengakar dalam pemilihan sebuah sekolah di keluargaku. Sebenarnya aku bisa saja memilih SMA yang berada di luar kabupaten dan notabene lebih unggul daripada sekolahku ini, hanya saja aku sendiri yang menolaknya karena berbagai pertimbangan, salah satunya faktor adaptasi dan pertemananan.
Hari itu serangkaian tes dimulai, mulai dari tes akademik hingga TPA dan juga bahasa inggris. Namun, ada juga yang tak perlu jalur tes karena sudah memiliki prasyarat masuk yang lengkap terutama piagam penghargaan. Aku lupa aku berada di peringkat berapa saat lolos tes ini semua, yang aku ingat ya hanya prosesnya. Merasa seperti berada di sebuah ruangan yang bersaing dengan ratusan calon siswa lainnya, seperti sebuah pengalaman baru. Belajar berkompetisi dan meyakinkan diri bahwa aku adalah salah satu yang terbaik ternyata bukan hal yang mudah, apalagi denganku yang sangat jarang ditempat dengan proses tersebut. Ya, walaupun pernah mengikuti lomba akademik hanya saja feeling saat itu aku merasa aku harus benar-benar serius agar bisa lolos tes SMA nya.
Akhirnya aku resmi menjadi siswa disana. Ya, aku dan glory yang akhirnya lanjut ke sekolah ini walaupun kami berempat (read: the rangers) sudah berjanji akan meneruskan ke sini. Riyan harus melanjutkan ke pondok pesantren sedangkan Febi memutuskan untuk ke sekolah kejuruan di Salatiga.
Tahap pertama adalah proses matrikulasi terutama dalam aspek bahasa inggris yang dikemas dalam sebuah kegiatan bernama English Camp. Ya, SMA ku dulu masih berstandar RSBI sehingga sejujurnya secara pengajaran dituntut ke arah bilingual. Pertama-tama kami dikumpulkan serentak semua siswa untuk pengumuman dan pembagian kelompok belajar. Aku hanya bisa memperhatikan saja. Teman-temanku banyak yang sudah saling kenal sebelumnya, terutama yang berasal dari satu SMP yang sama. Tidak lain dan tidak bukan SMP Favorit pada tahap sebelumnya yang hampir mendominasi 50% lebih siswa disini. Semua orang sudah memiliki jokes masing-masing untuk bercanda dengan satu sama lain terutama inside jokes komunal dari kelompok yang berasal dari satu SMP. Aku? kembali mencoba menjadi seorang pengamat kehidupan, canggung, namun sesekali membuang malu dengan bercakap kepada satu per satu orang yang ada di sekitar.
Akhirnya semua rangkain selesai, setelah proses matrikulasi yang panjang, diselingi persami (perkemahan sabtu-minggu) dan juga MOS (Masa Orientasi Studi) akhirnya tibalah saat-saat untuk masuk ke masa pelajaran. Aku ditempatkan ke kelas yang notabene suasana baru bagiku, walaupun ada beberapa teman yang berasal dari satu SMP yang sama, namun karena saat itu aku hanya punya teman dari kelas imersi saja,sehingga proses perkenalan harus dimulai lagi walaupun notabene kita satu asal sekolah hanya beda kelas. Sepertinya saat itu, aku ditempatkan di kelas yang rata-rata memiliki tingkat intelegensi yang cukup bagus. Rasa minder sempat menyerbak di awal-awal. Tapi, aku sudah bertekad disini aku akan menjadi pejuang, bukan pecundang. Akhirnya genderang perjuangan pun ku tabuh ketika pertama kali menginjakkan kaki di kelas.
Aku merasakan kenyamanan berada di kelas ini ketika lama-kelamaan sudah mulai kenal dengan seluruh anggota kelas yang ada. Ya, awalnya memang malu-malu sampai dimana akhirnya udah biasa malu-maluin di kelas. Kami cukup low-profile dan tidak ada geng khusus yang biasanya ada di kelas-kelas. Kami mulai kompak dengan berbagai mata pelajaran, kegiatan-kegiatan sekolah seperti jalan sehat tiap sabtu dan juga agenda class-meeting yang semakin membuat kompak. Apalagi ada satu agenda yang memaksa kami berakselerasi dalam ikatan kekompakan yaitu ketika event tahunan sekolah kami yaitu pameran & stand diadakan saat baru beberapa bulan kami bersekolah, yaitu Smansa Fair. Sekali lagi aku mencoba untuk berkontribusi semaksimal mungkin di kelas dalam menyalurkan ide dan gagasan terkait kegiatan yang akan dihadapi. Sederhana, karena aku nyaman di kelas ini. Salah satu kejadian lucu yang paling aku ingat, saat aku terpaksa harus mengikuti kontes fashion show saat hari Kartini, namun tiba-tiba melarikan diri mengikuti lomba tarik tambang dengan teman-teman lainnya dengan masih berpakaian rapi ala fashion show.
Akhirnya masa-masa indah itu selesai, kami harus berpisah ke kelas XI karena terpaksa mengikuti program penjurusan studi. Aku masuk ke program studi IPA walaupun secara placement test disarankan masuk ke IPS karena faktor potensi yang ada. Masuk IPA bukan sebuah pilihan saat itu tapi sebuah kewajiban karena faktor historis keluarga.
Teman baru, lingkungan baru, suasana dan suhu yang baru menginjak kaki di kelas ini. Sebenarnya hal yang paling aku sadari merasa kehilangan adalah ternyata aku tidak bisa bersama sekelas dengan perempuan yang aku suka. Ya, aku merasa di tahap SMA ini akhirnya dapat merasakan sebuah ketertarikan dengan lawan jenis yang tidak sekedar ego semata namun juga rasa nyaman terhadapnya. Panjang rasanya jika dijelaskan, cuman fase cinta di SMA adalah salah satu momen yang paling tidak bisa dilupakan di sini.
Kelas 11 aku beranjak mengikuti OSIS, ya sebenarnya keberaktifanku di SMA sudah dimulai sejak aku mengikuti keanggotaan MPK saat kelas X. Pun beranjak naik kelas dan menjadi ketua kelas. Lalu pada saat kelas XI itu akhirnya aku ditarik secara close recruitment oleh teman-temanku untuk bergabung ke OSIS. Awalnya aku agak berpikir lama, karena ketika aku lanjut MPK saat itu maka kemungkinan besar aku akan diamanahi sebagi ketua MPK, dikarenakan peran dan sisa anggota yang aktif saat itu. Namun aku melihat sebuah wadah pengembangan yang potensial di OSIS dan juga kedekatan dengan teman-teman yang sudah kukenal sejak kelas X . Maka aku memilih bergabung di sini dengan sadar untuk segala tanggung jawabnya.
Aku masih melanjutkan hobiku dalam bermain bola. Namun, karena di sekolahku tidak ada lapangan luas untuk bermain bola yang ada hanya lapangan basket, maka aku mulai mengenal olahraga baru yang tetap mengarah ke permainan bola hanya saja dalam ruangan yang kecil dan hanya dimainkan 5 orang yang bernama Futsal. Jujur sebenarnya aku tidak asing dengan istilah futsal hanya saja aku belum pernah memainkannya saat SMP dan baru mencoba pertama kali saat SMA. Ya, itulah salah satu ekstra-kulikuler yang kutekuni saat SMA. Aku memang se-passion itu dengan bola walaupun intensitas bermain semakin berkurang dikarenakan kesibukan di SMA. Hal yang paling terkenang dan mungkin jadi salah satu pengalaman yang membuatku sangat terpukul saat akhirnya aku menyadari aku tidak lolos seleksi menjadi tim futsal SMA. Sejujurnya, tidak asing jika di SMA ku tim olahraga seperti basket dan futsal lebih ngetren daripada organisasi seperti OSIS dan Pramuka. Hanya saja bukan alasan itu, namun aku merasa telah mencurahkan semua kemampuan dan memancangkan mimpi menjadi anggota tim futsal SMA namun akhirnya mimpi itu sirna sekejap ketika pengumuman anggota tim diposting di facebook pelatih yang juga guru olahragaku. Setidaknya aku mengambil hikmah yaitu merasakan arti sebuah kegagalan yang mendalam, yang suatu saat harapannya jadi pelajaran berharga buatku. Aku tersadar ketika aku dan salah satu temanku yang tidak lolos seleksi bercakap-cakap bagaimana kelanjutan ekstrakulikuler ini ketika kita sudah tidak lolos seleksi, dia hanya berkata “Aku tidak akan berhenti menekuni futsal, karena itu hobbyku, tidak ada yang menghalangi walaupun tidak lolos seleksi”. Tersentak aku sadar bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, ini bahkan menjadi sebuah fase baru memulai sebuah perjuangan. Ya, inilah pelajaran hidup yang berharga buatku.
Masih di minggu yang sama setelah pengumuman tim futsal, aku harus menghadiri suatu event yang bernama Forum Osis Se-Kabupaten Rembang sebuah pertemuan besar dan strategis dari berbagai OSIS di Rembang. Kebetulan saat itu FOKAR baru saja di rebranding ulang dikarenakan telah vakum selama beberapa tahun. dan Wallahu Alam aku terpilih menjadi ketua pertama saat itu dengan agenda kepemimpinan yaitu membuat FOKAR menjadi organisasi yang settle secara gerakan. Ya, mungkin inilah tarian takdir, di sisi lain aku merasa terpuruk karena mimpiku tidak tergapai di tim futsal namun Allah memberikan sebuah jalan baru yang bagiku ke depan jalan ini yang sangat membentukku sebagai pemimpin di masa depan. Karena benar pada dasarnya, manusia hanya bisa berencana, rencana terbaik maka Tuhan kitalah yang menentukan.
Pasca kejadian itu, entah kenapa kehidupannku sangat berubah, aku menjadi siswa yang aktif dan cukup prestatif di sekolah. Setelah menjadi ketua FOKAR aku kembali dipercaya memimpin berbagai kegiatan lain seperti MOS dan farewell party angkatanku. Kegiatan MOS dimana aku harus bisa menjadi project manager bersama berbagai peran lintas angkatan. Juga, sebagai ketua farewell party yang harus bisa menjadi inisiator karena memulai kembali acara baru yang dulu sempat tiada di sekolah. Dan secara akademik aku dipercaya mengikuti berbagai perlombaan mulai dari lomba akademik seperti cerdas cermat hingga seni-budaya seperti paduan suara. Ohiya aku mulai semenjak SMA mulai membuka diri untuk terjun ke arah ekstrakuliler musik, cuman bukan musik tradisional seperti SMP namun kali ini ekstrakulikuler Band. Ya, akhirnya beberapa kali mendapatkan kepercayaan manggung dari sekolah pun guru. Secara akademis, di kelas aku selalu masuk 3 besar hingga pernah bertengger di peringkat 1 dengan status ketua kelas selama 2 tahun berturut-turut. Secara kontribusi di Rembang, aku menjadi salah satu pasukan pengibar bendera di kabupaten. Dan dalam beberapa event hari besar Rembang menjadi salah satu pengibar benderanya. Ya, semesta benar-benar mempunyai rencana sendiri bagiku untuk bertumbuh, entah dengan zona nyaman atau memerlukan tamparan keras agar segera sadar.
Di penghujung akhir masa SMA aku merasa diri ini telah jauh berubah daripada ketika awal memasukinya. Aku merasa menjadi diri yang lebih matang dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan baik kegagalan, cinta ataupun hancurnya mimpi. Namun disitu pula aku merasa bersyukur karena menjadi sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga. Aku yang dulunya hanya seorang observer lama — kelamaan berubah menjadi seorang influencer yang mulai percaya diri dengan ide dan gagasanya.
Dari semua peristiwa itu aku sadar , satu hal yang merubahku adalah sebuah tekadku sendiri untuk berubah. Ya, seperti firman Allah yang terkenal “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri,” (QS. Ar-Ra’d:11).
Di ujung lembaran cerita aku hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada masa-masa SMA ku yang sangat berharga. Semoga masa depan akan lebih cerah lagi. Gracias!

Baca selengkapnya

Senin, 02 Maret 2020

Memahami Diri

Memahami Diri

#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku
The Rangers
Datang ke Rembang adalah sebuah petualangan baru. Ya, aku memang tiap tahun di waktu lebaran pasti pulang ke Rembang. Namun tidak pernah terbesit di pikiranku sebelumnya untuk tinggal dan sekolah di sini. Walaupun ada rasa tentram di hati karena akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.
Saatnya perjalanan itu dimulai, aku masuk ke dalam sekolah SDN 3 Waru. Sekolah yang dekat sekali dengan rumahku tak sampai 5 menit sampai di sana, berbeda sekali dengan sekolahku dulu di Palembang yang harus berjalan lumayan jauh dan menyebrangi jalan raya. Ya, berbeda pula terkait dengan iklim pendidikannya dan juga infrastruktur penunjang pendidikannya. Sekolah ini dulu merupakan mantan sekolah dari kakekku saat mengajar, tepat setahun berselang sebelum aku masuk sekolah kakekku pensiun. Guru-guru masih mengenal baik kakek, dan tidak sedikit yang menaruh hormat padanya bahkan ada yang dulu merupakan muridnya. Begitupun teman-teman sebayaku yang masih teringat jelas bagaimana saat diajar oleh kakek. Beliau dikenal salah satu guru yang keras tapi juga suka bercanda. Pernah kata teman-temanku beliau masuk kelas dengan membawa palu, sebagai ketokan ke meja ketika ada yang ramai dan nakal di kelas.
Aku masuk sini saat kelas 5 semester 2, dimana saat itu pelajaran yang kupelajari sudah pernah aku selesaikan waktu di Palembang. Tak sulit bagiku disini untuk meraih 3 besar di kelas yang dulu hampir mustahil kucapai di Palembang. Ya, aku merasakan ketimpangan iklim dan taraf pendidikan dengan saat masih di Palembang. Ya bersekolah di daerah, bagi sebagian orang merupakan sebuah tradisi “Menyekolahkan anak di tempat yang dekat dan punya riwayat sejarah dengan keluarga itu”. Maksudku, masih banyak pilihan lain yang bisa diambil, tapi tetap saja aku disekolahkan di SDN 3 Waru karena faktor tersebut.
Namun, aku bersyukur. Disini aku lebih belajar untuk membentuk diri sendiri menjadi anak yang lebih terbuka kepada siapapun. Aku mendapatkan lebih banyak teman dan juga momen-momen kenangan. Ya, aku diajak mandi di kali, bermain bola tiap sore, mencuri melon, hingga bareng-bareng distrap di ruang guru karena kenakalan kami. Disisi lain aku menjadi lebih menikmati tiap hari ku disini karena punya lebih banyak teman.
Salah satu faktor yang sedikit menghambat penyesuaian adalah bahasa. Aku paham sedikit-sedikit bahasa Jawa karena Ibu dan Ayah sering berdialek dengan bahasa jawa. Namun aku susah dalam mengucapkannya. Sesampai di Rembang, dengan masih membawa logat sumatera, seringkali banyak orang yang lebih tua atau bahkan guru menegur karena mungkin aksennya terdengar kasar jauh berbanding terbalik dengan Jawa yang lemah lembut. Tidak sedikit teman yang menjahiliku karena ketidakpahaman akan bahasa Jawa mereka mengajari kata-kata yang maknanya jelek. Untung dengan pikiran yang jernih, aku tidak ikut-ikutan. Ada lagi sebuah momen mengejutkan ketika aku baru beberapa bulan disana langsung diminta guruku untuk Lomba Menyanyi Macapat, padahal ngomong bahasa Jawa saja belum begitu lancar. Walaupun dengan segala keterbatasan yang ada mulai bahasa hingga keterampilan skill yang kurang memadai (aku selalu tidak selesai mengerjakan tugas muatan lokal seperti membuat topeng, anyaman dll bahkan aku belum bisa naik sepeda saat itu) tapi di SDN 3 Waru aku jadi langganan diikutkan lomba. Ya walaupun juara juga ngga.
Aku menyadari di waktu kecil, dengan hobiku mengamati sesuatu, sedikit banyak aku paham akan karakteristik orang-orang terutama teman-temanku. Ya, aku cenderung tidak banyak bicara ketika tidak dibutuhkan, namun aku jadi lebih terbuka saat itu, terutama terbuka terhadap keanekaragaman yang ada. Aku hampir dekat ke tiap orang yang ada di kelas, dan memiliki momen kenangan masing-masing. Apalagi momen dimana, aku menangis saat menyanyikan lagu ST12- Saat Terakhir pada saat ujian sekolah Muatan Lokal. Ohiya satu lagi hal yang aku sadari berubah, aku disana jadi suka belajar. Bukan dalam artian belajar keras di kamar sampai tidak keluar-keluar. Namun lebih ke arah suka belajar di kelas mendengarkan guru saat mengajar, dan semangat dan rutin mengikuti tambahan jam pelajaran di rumah guru walaupun yang hadir 2 orangpun aku sikat. Alhasil saat itu aku mendapatkan nilai UN tertinggi di SD dan bahkan sekelurahan yang terdiri dari 3 sekolah. Ya, mendadak aku populer karena nilai yang tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Padahal sebenarnya pinter banget sih ngga.
Ohiya satu lagi aktivitas baru yang kudapatkan saat di Rembang adalah aku disekolahkan di sekolah islam saat sore, dikenal dengan nama Madrasah jika di Jawa. Sekolah ini dimulai dari abis ashar sekitar jam 15.00 sampai jam 17.00 sore. Ini adalah tradisi bagi para keluarga disini untuk membekali anak mereka dengan pendidikan agama sedari kecil. Aku telat saat itu masuk ke madrasah sehingga menjadi kedua tertua di kelasku (aku masuk ke kelas 2 diniyah saat sudah kelas 5 SD).
Akhirnya waktu bergulir, sudah saatnya aku harus melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Lagi-lagi pilihannya adalah yang dekat dan punya riwayat sejarah dengan keluarga. Akhirnya aku melanjutkan ke SMPN 1 Rembang tempat dimana semua paman dan bibiku bersekolah di sana. SMPN 1 Rembang juga merupakan sekolah yang bagus cuman bukan yang paling favorit. Aku sudah bisa naik sepeda saat itu, alhasil aku merasa lebih leluasa ketika bersekolah di sana.
Berada di lingkungan baru sekali lagi menjadi sebuah tantangan besar tersediri bagiku. Aku tipe yang tidak bisa langsung seterbuka dan se-nyetel itu di awal. Aku masih berusaha memahami pola-pola yang tepat bagaimana bisa beradaptasi dengan baik dan nyaman selama bersekolah. Apalagi saat itu teman SD ku hanya sekitar 5–7 orang yang melanjutkan ke sini. Dan, tidak ada yang sekelas denganku, karena… Aku diputuskan (oleh orang tua) untuk masuk kelas Imersi. Kelas Uji Coba pertama di SMP N 1 Rembang yang menggunakan sistem pengajaran Bilingual. Ya, bisa dibilang kelas ini juga merupakan kelas terbaik yang merupakan para kumpulan pilihan orang tua masing-masing. Akhirnya aku (terpaksa) masuk sana, bertemu dengan seluruh orang baru yang tidak kukenal sama sekali dan tidak ada yang rumahnya dekat denganku juga.
Kelas kami unik, kami diharuskan menjadi teman satu kelas selama 3 tahun tidak bisa bertukar kelas dengan yang lain karena beda sistem. Alhasil aku harus betah-betah di kelas ini. Syukur Alhamdulillah aku dikaruniai teman-teman yang nyaman dan asik selama di sini. Bisa disebut juga sebagai kompak. Bayangkan seluruh murid cowok saat itu sepakat untuk join ekstrakulikuler Karawitan (permainan alat musik Jawa) hanya karena sebuah ajakan seadanya di kelas dan merasa tidak dekat dengan teman kelas lainnya. Ya, bisa dipastikan kami pengacau disana. 75% peserta ekstrakulikuer berasal dari kelas kami. Kami juga biasa disebut oleh para guru yang mengajar sebagai kelas teramai. Karena anak-anak yang sangat hiperaktif (terutama yang perempuan) dan selalu ngomong jika di kelas, hal ini berkonotasi 2 yaitu aktif di kelas atau mengacaukan kelas.
Kegiatanku selama di SMP sedikit banyak memakan waktu luangku di Rumah dan juga bermain bersama teman-teman desaku. Apalagi saat itu bisa dibilang kelasku paling canggih karena sudah ada AC, Proyektor dan LCD. Juga kami sering sekali mendapatkan kesempatan mengunjungi lab.komputer karena dirasa memiliki pemahaman di atas rata-rata kelas lain. Aktivitasku juga bertambah menjadi suka bermain game (online/offline), terutama game Facebook yang saat itu sedang ngetren-ngetrennya. Namun hal lain di luar itu semua yang membuatku bersyukur hingga sekarang adalah aku mendapatkan 3 sahabat baik hingga terjaga sampai sekarang. Mereka sebenarnya teman main game yang memiliki jalur mobilisasi rumah terdekat dari rumahku walaupun sudah beda kelurahan. Mereka adalah Glory si Cerdas yang berperawakan santuy tapi pendiam dan tertutup, doi orang yang mengedepankan integritas nomor satu (papan dan buku berlapis dan bertingkat sebagai pencegahan orang mencontek dia) tapi bersama kami dia tidak akan jadi tertutup lagi, yang kedua Riyan si kecil pembuat onar dengan segala tindakan heroic nya melawan guru dan teman yang suka menindas, dia adalah orang yang paling setia-kawan. Walaupun paling berani diantara kami, dia adalah pribadi yang paling nurut sama perintah orang tua terutama kakak perempuannya, mbak desi. yang terakhir, Febi si anak kontemporer yang selalu tahu banyak hal (entah hal itu benar/salah), ahli komputer dan si gamers tapi merupakan relawan yang paling berbesar hati membantu ketika ada masalah. Ya merekalah yang mewarnai hari-hariku semasa SMP hingga bertumbuh dewasa kini. Kami menyebut diri kami Rangers.
Kami memiliki interest masing-masing, walaupun bersatu dalam game dan karawitan. Febi anak yang aktif di banyak kegiatan, dia ikut OSIS, Kirap Panji, Pramuka dan juga Drum Band. Berkat dia akupun akhirnya terjun juga ke dalam 3 organisasi yang disebutkan di awal. Glory mengasah kemampuan di olimpiade matematika, ya dia bisa dibilang talenta potensial. Riyan sama, hanya saja karena terlalu bengal dia keluar (atau bahkan dikeluarkan) dari olimpiade matematika. Namun, jangan salah sangka, walaupun kelakukan yang kadang tidak habis dipikir, dia merupakan seorang da’i kecil yang sering berdakwah di banyak tempat di pulau jawa. Sedangkan aku mencoba hal baru dengan ikut sanggar bahasa. Hal yang tidak pernah kusangka, dan mungkin baru terasa sense nya ketika sudah selesai SMP. Namun berkat sanggar bahasa inilah aku menjadi andalan Bu Nita dalam perlombaan2 terkait bahasa, seperti bulan bahasa dan juga bahkan olimpiade bahasa Indonesia.
Masa-masa SMP pun akhirnya mendekati penghujung cerita, walaupun banyak sekali yang akhirnya aku rasakan. Seperti mendapatkan sebuah keluarga baru, yang hampir setiap orang di kelas aku kenal dekat (mungkin karena 3 tahun bukan waktu yang singkat). Sedikit demi sedikit aku mulai membuka diri yang awalnya menjadi anak yang pemalu menjadi seorang yang berusaha memulai sebuah pembicaraan. Berusaha untuk memosisikan diri menjadi orang dewasa, seiring bertambahnya usia di sana. Ya, aku paham aku sudah mulai tumbuh ke remaja yang harus paham bahwa dia berada di sebuah lingkungan yang terdiri dari orang-orang lain. Sekarang, aku sudah mulai berpikir bahwa hidup bukan hanya tentang aku tapi tentang semua orang yang tinggal dan hidup juga di dalamnya.
Pada akhirnya, aku sadar ini adalah fase transisi yang siap mengantarkanku ke kehidupan yang lebih dewasa.
Saatnya tuk berkata, selamat tinggal masa kecil yang nyaman dan bahagia, aku siap menyambut dunia dan segala roller coaster kehidupan yang tersemat di dalamnya.
Baca selengkapnya

Minggu, 01 Maret 2020

Mula

Mula

#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku

Mula

“Perjalanan panjang akan selalu dimulai dari langkah pertama, dan bagiku langkah pertama itu ada di keluarga”
Hallo, Perkenalkan Namaku Anggi Renaldy Pratama seorang manusia yang berwujud laki-laki hadir dan di bumi dalam rangka menjadi seorang khalifah. Aku lahir pada tanggal 9 Agustus 1998, sebuah tanggal yang bagus menurutku, karena aku sendiri bahagia ketika menulis di biodata ketika mengikuti ujian di sekolah. 09–08–98. Kombinasi yang ciamik.
Aku lahir di Rembang, sebuah kabupaten yang ada di Jawa Tengah tepatnya berada di pesisir pantai utara, ya berbatasan langsung dengan laut lepas. Rembang telah berjasa menerimaku untuk lahir disana. Namun selang 2 bulan berjalan aku langsung dibawa ibuku menyusul ayah yang berada di Palembang,Sumatera Selatan. Kalau mendengar cerita beliau, dulu aku masih kecil-kecilnya atau istilahnya disebut bayi merah. Aku dan Ibu menaiki bis ke sana tidak tahu alamat sama sekali dan membawaku yang sangat rewel ini. Aku menangis sepanjang perjalanan menaiki bis kemudian pindah ke kapal lalu akhirnya sampai di Palembang dengan total perjalanan 2 hari 1 malam. Ya, karena akulah yang kemudian menjadi anak satu-satunya dari keluargaku. Dulu, katanya ada calon kakakku tapi karena ada suatu kejadian, sehingga calon kakakku tidak bisa lahir di dunia. Alhasil, kami keluarga kecil ini, Aku dan Ibuku menyusul ayahku yang sedang berdinas di Palembang.
Namaku juga tidak sekedar nama, karena pasti setiap nama adalah sebuah doa dari orang tua. Dan aku baru sadar kepanjangan namaku ketika saat SMA ada tugas membuat autobiografi sendiri. Aku menanyakan ke ibuku, namun kata ibuku namamu dari Ayahmu. Ya, Anggi memiliki kepanjangan Agustus Minggu Legi yang mengarah kepada hari pasaran jawa yang menandakan bulan dan hari lahirannku. Awalnya ketika kecil aku sedikit malu menyandang nama “Anggi” karena kesannya adalah seperti perempuan. Kata ibuku juga dulu dikira akan lahir anak perempuan karena pada saat cek ke dokter cenderung ke sana. Namun saat ini aku merasa bangga, karena arti dibalik nama Anggi sesungguhnya adalah sebuah pengingat kepada diriku dan hari lahirku. Lalu Renaldy sebuah akronim dari Rembang Aku dilahirkan. sejenak aku kaget menyadari arti nama tersebut,karena ada-ada saja ayah bisa menamai dan menyingkat nama yang unik. Namun dibalik itu semua aku sadar arti nama ini bukan sekedar pengingat, tapi mungkin sebuah tekad bahwa suatu hari nanti aku tidak boleh melupakan tanah airku sekaligus tempat lahirku yaitu Rembang. Sedangkan, Pratama menunjukkan simbol anak pertama walau akhirnya menjadi anak satu — satunya. Aku yakin setiap nama memiliki makna yang indah masing-masing. Jadi apa makna namamu?
Perjalanan kehidupanku dimulai dari Palembang, ya sebuah tempat asing nan baru sebenarnya. Cuman tidak terasa seperti itu karena pada akhirnya aku memulai semua dari sini. Aku tinggal di asrama tentara saat kecil bersama ibuku. Ya, walau disini teman mainku terbatas setidaknya aku bersyukur mendapatkan tempat singgah di kota yang asing ini. Aku berteman dengan anak-anak dari keluarga tentara lainnya. Tidak hanya tentara, namun juga perangkat-perangkat penunjang lainnya seperti Tenaga KES-TNI dan juga PNS-TNI. Walau sebenarnya waktuku kuhabiskan banyak di rumah ataupun ikut ibuku jika ada acara PERSIT (Persatuan Istri Tentara) di luar. Ya, aku masih tetap bermain tapi paling jauh paling jarak berapa rumah dari rumah tempat tinggalku. Rumahku merupakan rumah sederhana yang cukup banyak memiliki makna. Disana terdiri dari beberapa rumah yang identik dengan pekarangan seadanya. Aku pernah dikunci di dalam kamar oleh Ibu karena saking bandelnya saat kecil, seperti apa? main di got, memasukkan kepala ke jendela yang tidak bisa dikeluarkan lagi, hingga pernah melempar batu kepada teman sebaya hingga kepalanya bocor karena aku tidak diajak bermain. Ya, masa kanak-kanak
Hal yang paling membuat aku bahagia adalah ketika ada kesempatan jalan-jalan ke luar kompleks TNI ini, entah ke suatu tempat rekreasi/mall, ke rumah teman ibukku atau bahkan ke rumah keluarga angkat ku di sini yang bertempat tinggal di Muara Enim. Ya, aku sangat bahagia saat itu ketika diajak keluar main bersama dengan ayah dan ibu menggunakan motor dinas megapro lawas jalan-jalan ke Matahari atau tempat rekreasi lainnya seperti Jembatan AMPERA dan Benteng Kuto Besak. Atau ke tempat rumah teman ibu yang akhirnya aku bisa merasakan suasana baru dan menginap disana. Dengan berbagai wahana baru yang tidak kudapatkan di rumah dikarenakan perabotan yang ada sangat ala kadarnya. Dan yang paling kunanti saat mendapatkan kesempatan mudik ke Muara Enim,tempat keluarga baruku di Sumatera dimana biasanya aku bermain sama anak-anak yang lebih banyak dikarenakan tempatnya adalah pedesaan, bermain di rel kereta api dan juga main ke pelosok-pelosok desa untuk melihat aktivitas anak-anak disana, aku punya teman-teman yang selalu siap menjemputku ketika aku datang dan mengajak bermain. Rumah disana, terdiri dari rumah panggung yang tinggi yang biasanya kawasan lantai pertama digunakan untuk menyimpan ladang pertanian atau bahkan hewan ternak. Salah satu kejadian yang paling kuingat saat ke Muara Enim adalah saat dimana kami bertiga sekeluarga berboncengan naik motor butut dinas. Saat itu sebenarnya Ibu memberikan sinyal sepertinya motornya ada masalah, namun ayahku tidak percaya dan melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya, ban motor kami pecah saat kami menaiki kendaraan. Walau kecepatannya sedang, sudah cukup membuatku terlempar dari motor dengan masih mendekap ayah. Namun ibu, terpental sangat jauh dan akhirnya mengalami pendarahan di wajah yang begitu banyak. Aku menangis tak kuat melihat, dan hingga kini dari kejadian itu luka masih membekas di raut wajah ibu.
Dari kecil memang aku suka mengamati, mengamati apapun yang menurutku pasti ada makna tersembunyi. Salah satu hal yang akhirnya merubahku saat aku mengamati seseorang yang sudah bisa membaca, siapapun baik orang tua atau remaja mereka jadi memahami apa yang ada di balik hal yang dibaca. Akhirnya saat itu, saat masa lebaran dan aku pulang ke Rembang, di saat wayah ngaji sore, aku melihat-lihat mengamati sebuah buku kecil bergambar berisi cerita nabi. setiap waktu ngaji sore di dekat rumah, aku mulai memutuskan untuk membawa buku bacaan itu ke rumah melanjutkan membaca ketika tidak selesai kubaca saat ngaji. AKIRNYA, wallahu alam aku jadi bisa membaca semenjak saat itu. Waktu liburan selesai, aku pulang ke Palembang dan akhirnya disekolahkan oleh ibuku. Ohiya saat itu kondisinya adalah Aku dan keluarga sudah berpindah lokasi tidak lagi di asrama TNI, kami memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan karena saat itu ayah juga dipindah tugaskan dari batalyon ke KODAM V Sriwijaya. Alhasil, aku harus beradaptasi lagi dengan budaya dan lingkungan baru. Terhitung kami sudah beberapa kali berpindah-pindah kontrakan karena beberapa faktor, seperti: kenyamanan, keamanan, dan juga biaya. Tidak jauh jarak pindahnya, tapi semakin membuat aku lebih lama menghabiskan waktu di rumah saat masih kecil, karena di kota besar lingkungan sangat berbeda dan bahaya selalu ada. Saat itulah, ibu akhirnya memutuskan menyekolahkan aku agar ada teman main, tidak tanggung-tanggung aku langsung dimasukan ke SD yang notabene saat itu sudah berjalan beberapa bulan sekolah. Pertimbangannya sayang saja karena aku sudah bisa baca jika harus masuk TK kembali. ya saat itu usiaku adalah 4 Tahun 8 bulan saat mengenakan seragam merah-putih pertama. Kok bisa? Sejujurnya prosesnya tidak mudah. Ibu datang kepada kepala sekolah menceritakan panjang lebar pertimbangan yang ada, dan akhirnya langkah pembuktian diambil ketika kepala sekolah saat itu menyodorkan kepada aku sebuah koran dan aku disuruh untuk membacanya. Dan ternyata, aku lancar membacanya. Ya, kata kepala sekolah saat itu: “kamu sudah bisa membaca cepat seperti kelas 3/4 SD, bahkan anak saya yang kelas 1 juga masih terbaata-bata membaca”. Dan itu merupakan kalimat dimana akhirnya aku resmi diterima sekolah.
Selain hobi membaca, aku juga hobi bermain sepakbola. hampir setiap saat ketika ada waktu kosong aku gunakan untuk bermain bola. Di lapangan dekat rumah, di pekarangan rumah, hingga di rumah (sendirian). Aku selalu membayangkan bahwa menjadi pemain bola merupakan cita-cita yang menyenangkan. Tidak hanya bermain, aku juga menonton bola baik pertandingan lokal Indonesia maupun Internasional terutama Liga Inggris, aku juga membaca koran bola, yang selalu aku langganin ketika berangkat sekolah bareng ibu aku mampir ke toko koran untuk membelinya. Namun, aku tak pernah kesampaian untuk bermain video games bola. Selain, karena tidak ada uang untuk membelinya (Saat itu gaji ayah sangatlah pas-pasan untuk biaya sehari-hari dan sekolah), hal lain juga mungkin hal itu bisa membuat ku ketagihan lebih memilih main games saja. Beberapa kali aku menjuarai turnamen bola saat kecil, saat itu ada pertandingan 17an anak-anak timku mendaptkan juara sebagai hadiah aku mendapatkan jersey saat itu, pun saat lomba classmeeting sekolah (ya, walaupun aku hanya jadi kiper karena teman-temanku lainnya badannya sangat besar-besar) kami juga berhasil menyabet juara. Dan sampai saat ini, mungkin hobi ini takkan pudar, walau intensitas bermainnya sudah jauh berkurang.
kegiatan sekolah ku tidak jauh dari pembelajaran yang biasa kita dapat. Pada awalnya aku masih sering diantar ibu. Namun lama-kelamaan aku sudah bisa mandiri berangkat ketika banyak juga teman-teman dekat rumah yang berangkat. Pada saat SD, kehidupan yang paling kuuingat adalah ketika memiliki sahabat. Ada beberapa sahabat yang aku dan dia sangat dekat dari berbagai macam latar belakang dan gender. Aku bersahabat dengan Devi, anak perempuan yang sangat baik, bagiku dia perempuan terbaik yang pernah kutemui di SD, kami sering sekelas, dia cantik, dan dulu aku nyaman bersahabat dengannya. Ada Renaldi, sahabat yang punya nama yang sama namun memiliki badan yang lebih besar dariku, banyak kesamaan aku dan dia selain nama, kami suka bermain bola, kami salip menyalip pemeringkatan di kelas, walau dia suka jail aku merasa nyaman. Aku sering bermain di rumahnya yang bagus, untuk main video game atau sekedar tidur di sana. Ada Reza, sahabat yang badannya kecil tapi saat dulu suka ngebully, ya walau begitu aku masih sering bermain dengan dia di rumahnya yang penuh alat elektronik dan alat-alat unik, dia juga suka bermain bola. Ada taufik, anak pindahan baru dari Aceh yang mana di awal selalu sendiri karena tidak punya teman sehingga aku menemani dia hingga menjadi teman baik. Dan terakhir, ada Wahyu tetangga yang berada di depan rumah, aku kenal baik dia dan keluarganya kami sering bermain bersama, walau pada akhirnya kami berbeda sekolah, wahyu dan aku di kompleks sekolah yang sama namun kami bersebrangan. Namun sayangnya, hingga saat ini aku sudah tidak pernah lagi melihat wajah mereka, aku tak tahu mereka sekarang dimana, dan aku tidak dapat menghubungi mereka lagi. Karena pada penghujung akhir kelas 5 SD aku terpaksa harus pindah ke Rembang untuk melanjutkan sekolah disana, karena Ayah dan Ibu mendaptkan kesempatan untuk pulang kampung dan dinas disana.
Aku orang yang pendiam dan pemalu ketika berhadapan dengan orang banyak saat kecil, makanya aku lebih suka mengamati tiap peristiwa yang ada saja. Namun banyak hal yang akhirnya berkesan dari tiap pengamatan itu. Aku pernah juara lomba puisi saat classmeeting dan itu jadi momen dimana aku bisa mendobrak zona nyaman pertama kali, aku pernah menangis di kelas ketika ada satu guru favoritku yang akhirnya harus pindah sekolah, kemudian beliau-lah yang menjadi guru pertama yang memiliki ikatan emosional denganku. Aku ditraktir dengan Renaldi saat akhir semester, dan beliau suka menelpon keluargaku juga menandakan sebuah kedekatan. Walau tak pernah mendaptkan juara 1 di kelas, setidaknya dulu aku pernah bertengger di sana saat ada pemeringkatan bulanan. Ya, setidaknya menyadarkanku, aku juga bisa berpotensi, tinggal man jadda wa jadda.
Terakhir aku ingin mendedikasikan paragraf ini untuk bercerita tentang keluargaku, yaitu Ayah dan Ibuku, the important things in my life. Ayah orang yang sedikit berbicara, namun dari sedikitnya itu, berbicara ayah sangat mendalam. sampai sekarang ayah menjadi sosok yang paling kuhormati. Tidak sedikit diwaktu kecil aku kena marah karena melakukan tindakan yang ceroboh, namun aku selalu menganggap itu adalah sebuah pembelajaran buatku tidak mengulanginya. Ayah selalu menjadi sosok hero buatku, pernah sesekali dia menyempatkan untuk mengantarkanku kesekolah karena aku kesiangan bangun dan dia juga harus berangkat ke kantor, dia mengantarkanku sampai depan kelas dengan berseragam lengkap, dan tiap langkah kepergiannya aku menangis memandangnya. Ayah bagiku adalah seorang lelaki tangguh yang sudah kenyang dengan asam-garam kehidupan. Beliau harus menahan kesedihan saat ditugaskan operasi ke maluku di saat yang bersamaan ayahnya meninggal, dan beliau baru bisa pulang ketika operasi selesai. Ya, saat itu akhirnya beliau hanya mampu tahlilan dari jauh dan baru menangis ketika berada di nisan ayahnya saat pulang kampung. Beliau juga yang menginspirasiku bahwa menjadi seorang lelaki harus berani, harus tegas, harus berani mengambil resiko, dan yang paling penting harus bertanggung jawab. Hingga sampai saat ini aku masih menganggap pahlawanku di dunia adalah ayahku.
Tentang ibu, Aku mungkin tak akan pernah sempurna menggambarkan deskripsi tentang ibu. Karena terlalu sempurna perjuangan beliau menjadi ibu buatku, hingga setitik pun aku merasa belum bisa membalas budi baik beliau. Ya, ibu yang berjuang selama 9 bulan mengandungku, merawatku dari kecil saat ayah sering bertugas jauh, dan menjadi suri tauladanku pertama di dunia. Aku melihat seorang pejuang sejati ada di diri beliau. Ibu menikah saat usia 27 tahun dimana ayah berusia 29 tahun. Usia itu bukanlah usia yang bisa dikatakan masih muda, usia itu adalah usia yang matang. Ibu sudah pernah bekerja di berbagai tempat. Ibu saat muda pernah bekerja di Surabaya selama beberapa tahun. Sebagai anak pertama dalam keluarga sudah pasti Ibu ingin menjadi contoh adik-adiknya dan bertanggung jawab atas keluarga. Ibuku akan selalu menjadi role modelku di sepanjang hidup, seorang yang selalu mendukung anaknya dengan diiringi lantunan doa semoga sang Illahi Rabbi menjaga anak semata wayangnya ini tetap dalam keadaan terbaik.
Keluargaku memang keluarga yang kecil, tapi aku berysukur karena semenjak kecil aku sudah banyak belajar dari keluarga kecil ku ini, dan menjadi bekal ke depan bagiku untuk mengarungi kerasnya dunia.
Akhir ceritaku saat kecil yaitu berada saat aku dan keluarga harus pindah ke Rembang. Naik mobil pick-up dengan segala perabotan yang masih bisa dibawa, sisanya?ditinggal bersama semua kenangan yang ada. Ya, meninggalkan semua kenangan yang telah ada dengan keluarga disana, menuju ke keluarga ku sebenarnya.

Perpisahan selalu memilukan, tapi dibalik setiap perpisahanlah ada makna yang akan selalu terpatri di sanubari tentang segala pelajaran hidup yang pernah menghampiri.

Selamat pergi, aku selalu merasa Mulaku disini (Palembang, 2008)
Baca selengkapnya