Minggu, 01 Maret 2020

Mula

#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku

Mula

“Perjalanan panjang akan selalu dimulai dari langkah pertama, dan bagiku langkah pertama itu ada di keluarga”
Hallo, Perkenalkan Namaku Anggi Renaldy Pratama seorang manusia yang berwujud laki-laki hadir dan di bumi dalam rangka menjadi seorang khalifah. Aku lahir pada tanggal 9 Agustus 1998, sebuah tanggal yang bagus menurutku, karena aku sendiri bahagia ketika menulis di biodata ketika mengikuti ujian di sekolah. 09–08–98. Kombinasi yang ciamik.
Aku lahir di Rembang, sebuah kabupaten yang ada di Jawa Tengah tepatnya berada di pesisir pantai utara, ya berbatasan langsung dengan laut lepas. Rembang telah berjasa menerimaku untuk lahir disana. Namun selang 2 bulan berjalan aku langsung dibawa ibuku menyusul ayah yang berada di Palembang,Sumatera Selatan. Kalau mendengar cerita beliau, dulu aku masih kecil-kecilnya atau istilahnya disebut bayi merah. Aku dan Ibu menaiki bis ke sana tidak tahu alamat sama sekali dan membawaku yang sangat rewel ini. Aku menangis sepanjang perjalanan menaiki bis kemudian pindah ke kapal lalu akhirnya sampai di Palembang dengan total perjalanan 2 hari 1 malam. Ya, karena akulah yang kemudian menjadi anak satu-satunya dari keluargaku. Dulu, katanya ada calon kakakku tapi karena ada suatu kejadian, sehingga calon kakakku tidak bisa lahir di dunia. Alhasil, kami keluarga kecil ini, Aku dan Ibuku menyusul ayahku yang sedang berdinas di Palembang.
Namaku juga tidak sekedar nama, karena pasti setiap nama adalah sebuah doa dari orang tua. Dan aku baru sadar kepanjangan namaku ketika saat SMA ada tugas membuat autobiografi sendiri. Aku menanyakan ke ibuku, namun kata ibuku namamu dari Ayahmu. Ya, Anggi memiliki kepanjangan Agustus Minggu Legi yang mengarah kepada hari pasaran jawa yang menandakan bulan dan hari lahirannku. Awalnya ketika kecil aku sedikit malu menyandang nama “Anggi” karena kesannya adalah seperti perempuan. Kata ibuku juga dulu dikira akan lahir anak perempuan karena pada saat cek ke dokter cenderung ke sana. Namun saat ini aku merasa bangga, karena arti dibalik nama Anggi sesungguhnya adalah sebuah pengingat kepada diriku dan hari lahirku. Lalu Renaldy sebuah akronim dari Rembang Aku dilahirkan. sejenak aku kaget menyadari arti nama tersebut,karena ada-ada saja ayah bisa menamai dan menyingkat nama yang unik. Namun dibalik itu semua aku sadar arti nama ini bukan sekedar pengingat, tapi mungkin sebuah tekad bahwa suatu hari nanti aku tidak boleh melupakan tanah airku sekaligus tempat lahirku yaitu Rembang. Sedangkan, Pratama menunjukkan simbol anak pertama walau akhirnya menjadi anak satu — satunya. Aku yakin setiap nama memiliki makna yang indah masing-masing. Jadi apa makna namamu?
Perjalanan kehidupanku dimulai dari Palembang, ya sebuah tempat asing nan baru sebenarnya. Cuman tidak terasa seperti itu karena pada akhirnya aku memulai semua dari sini. Aku tinggal di asrama tentara saat kecil bersama ibuku. Ya, walau disini teman mainku terbatas setidaknya aku bersyukur mendapatkan tempat singgah di kota yang asing ini. Aku berteman dengan anak-anak dari keluarga tentara lainnya. Tidak hanya tentara, namun juga perangkat-perangkat penunjang lainnya seperti Tenaga KES-TNI dan juga PNS-TNI. Walau sebenarnya waktuku kuhabiskan banyak di rumah ataupun ikut ibuku jika ada acara PERSIT (Persatuan Istri Tentara) di luar. Ya, aku masih tetap bermain tapi paling jauh paling jarak berapa rumah dari rumah tempat tinggalku. Rumahku merupakan rumah sederhana yang cukup banyak memiliki makna. Disana terdiri dari beberapa rumah yang identik dengan pekarangan seadanya. Aku pernah dikunci di dalam kamar oleh Ibu karena saking bandelnya saat kecil, seperti apa? main di got, memasukkan kepala ke jendela yang tidak bisa dikeluarkan lagi, hingga pernah melempar batu kepada teman sebaya hingga kepalanya bocor karena aku tidak diajak bermain. Ya, masa kanak-kanak
Hal yang paling membuat aku bahagia adalah ketika ada kesempatan jalan-jalan ke luar kompleks TNI ini, entah ke suatu tempat rekreasi/mall, ke rumah teman ibukku atau bahkan ke rumah keluarga angkat ku di sini yang bertempat tinggal di Muara Enim. Ya, aku sangat bahagia saat itu ketika diajak keluar main bersama dengan ayah dan ibu menggunakan motor dinas megapro lawas jalan-jalan ke Matahari atau tempat rekreasi lainnya seperti Jembatan AMPERA dan Benteng Kuto Besak. Atau ke tempat rumah teman ibu yang akhirnya aku bisa merasakan suasana baru dan menginap disana. Dengan berbagai wahana baru yang tidak kudapatkan di rumah dikarenakan perabotan yang ada sangat ala kadarnya. Dan yang paling kunanti saat mendapatkan kesempatan mudik ke Muara Enim,tempat keluarga baruku di Sumatera dimana biasanya aku bermain sama anak-anak yang lebih banyak dikarenakan tempatnya adalah pedesaan, bermain di rel kereta api dan juga main ke pelosok-pelosok desa untuk melihat aktivitas anak-anak disana, aku punya teman-teman yang selalu siap menjemputku ketika aku datang dan mengajak bermain. Rumah disana, terdiri dari rumah panggung yang tinggi yang biasanya kawasan lantai pertama digunakan untuk menyimpan ladang pertanian atau bahkan hewan ternak. Salah satu kejadian yang paling kuingat saat ke Muara Enim adalah saat dimana kami bertiga sekeluarga berboncengan naik motor butut dinas. Saat itu sebenarnya Ibu memberikan sinyal sepertinya motornya ada masalah, namun ayahku tidak percaya dan melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya, ban motor kami pecah saat kami menaiki kendaraan. Walau kecepatannya sedang, sudah cukup membuatku terlempar dari motor dengan masih mendekap ayah. Namun ibu, terpental sangat jauh dan akhirnya mengalami pendarahan di wajah yang begitu banyak. Aku menangis tak kuat melihat, dan hingga kini dari kejadian itu luka masih membekas di raut wajah ibu.
Dari kecil memang aku suka mengamati, mengamati apapun yang menurutku pasti ada makna tersembunyi. Salah satu hal yang akhirnya merubahku saat aku mengamati seseorang yang sudah bisa membaca, siapapun baik orang tua atau remaja mereka jadi memahami apa yang ada di balik hal yang dibaca. Akhirnya saat itu, saat masa lebaran dan aku pulang ke Rembang, di saat wayah ngaji sore, aku melihat-lihat mengamati sebuah buku kecil bergambar berisi cerita nabi. setiap waktu ngaji sore di dekat rumah, aku mulai memutuskan untuk membawa buku bacaan itu ke rumah melanjutkan membaca ketika tidak selesai kubaca saat ngaji. AKIRNYA, wallahu alam aku jadi bisa membaca semenjak saat itu. Waktu liburan selesai, aku pulang ke Palembang dan akhirnya disekolahkan oleh ibuku. Ohiya saat itu kondisinya adalah Aku dan keluarga sudah berpindah lokasi tidak lagi di asrama TNI, kami memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan karena saat itu ayah juga dipindah tugaskan dari batalyon ke KODAM V Sriwijaya. Alhasil, aku harus beradaptasi lagi dengan budaya dan lingkungan baru. Terhitung kami sudah beberapa kali berpindah-pindah kontrakan karena beberapa faktor, seperti: kenyamanan, keamanan, dan juga biaya. Tidak jauh jarak pindahnya, tapi semakin membuat aku lebih lama menghabiskan waktu di rumah saat masih kecil, karena di kota besar lingkungan sangat berbeda dan bahaya selalu ada. Saat itulah, ibu akhirnya memutuskan menyekolahkan aku agar ada teman main, tidak tanggung-tanggung aku langsung dimasukan ke SD yang notabene saat itu sudah berjalan beberapa bulan sekolah. Pertimbangannya sayang saja karena aku sudah bisa baca jika harus masuk TK kembali. ya saat itu usiaku adalah 4 Tahun 8 bulan saat mengenakan seragam merah-putih pertama. Kok bisa? Sejujurnya prosesnya tidak mudah. Ibu datang kepada kepala sekolah menceritakan panjang lebar pertimbangan yang ada, dan akhirnya langkah pembuktian diambil ketika kepala sekolah saat itu menyodorkan kepada aku sebuah koran dan aku disuruh untuk membacanya. Dan ternyata, aku lancar membacanya. Ya, kata kepala sekolah saat itu: “kamu sudah bisa membaca cepat seperti kelas 3/4 SD, bahkan anak saya yang kelas 1 juga masih terbaata-bata membaca”. Dan itu merupakan kalimat dimana akhirnya aku resmi diterima sekolah.
Selain hobi membaca, aku juga hobi bermain sepakbola. hampir setiap saat ketika ada waktu kosong aku gunakan untuk bermain bola. Di lapangan dekat rumah, di pekarangan rumah, hingga di rumah (sendirian). Aku selalu membayangkan bahwa menjadi pemain bola merupakan cita-cita yang menyenangkan. Tidak hanya bermain, aku juga menonton bola baik pertandingan lokal Indonesia maupun Internasional terutama Liga Inggris, aku juga membaca koran bola, yang selalu aku langganin ketika berangkat sekolah bareng ibu aku mampir ke toko koran untuk membelinya. Namun, aku tak pernah kesampaian untuk bermain video games bola. Selain, karena tidak ada uang untuk membelinya (Saat itu gaji ayah sangatlah pas-pasan untuk biaya sehari-hari dan sekolah), hal lain juga mungkin hal itu bisa membuat ku ketagihan lebih memilih main games saja. Beberapa kali aku menjuarai turnamen bola saat kecil, saat itu ada pertandingan 17an anak-anak timku mendaptkan juara sebagai hadiah aku mendapatkan jersey saat itu, pun saat lomba classmeeting sekolah (ya, walaupun aku hanya jadi kiper karena teman-temanku lainnya badannya sangat besar-besar) kami juga berhasil menyabet juara. Dan sampai saat ini, mungkin hobi ini takkan pudar, walau intensitas bermainnya sudah jauh berkurang.
kegiatan sekolah ku tidak jauh dari pembelajaran yang biasa kita dapat. Pada awalnya aku masih sering diantar ibu. Namun lama-kelamaan aku sudah bisa mandiri berangkat ketika banyak juga teman-teman dekat rumah yang berangkat. Pada saat SD, kehidupan yang paling kuuingat adalah ketika memiliki sahabat. Ada beberapa sahabat yang aku dan dia sangat dekat dari berbagai macam latar belakang dan gender. Aku bersahabat dengan Devi, anak perempuan yang sangat baik, bagiku dia perempuan terbaik yang pernah kutemui di SD, kami sering sekelas, dia cantik, dan dulu aku nyaman bersahabat dengannya. Ada Renaldi, sahabat yang punya nama yang sama namun memiliki badan yang lebih besar dariku, banyak kesamaan aku dan dia selain nama, kami suka bermain bola, kami salip menyalip pemeringkatan di kelas, walau dia suka jail aku merasa nyaman. Aku sering bermain di rumahnya yang bagus, untuk main video game atau sekedar tidur di sana. Ada Reza, sahabat yang badannya kecil tapi saat dulu suka ngebully, ya walau begitu aku masih sering bermain dengan dia di rumahnya yang penuh alat elektronik dan alat-alat unik, dia juga suka bermain bola. Ada taufik, anak pindahan baru dari Aceh yang mana di awal selalu sendiri karena tidak punya teman sehingga aku menemani dia hingga menjadi teman baik. Dan terakhir, ada Wahyu tetangga yang berada di depan rumah, aku kenal baik dia dan keluarganya kami sering bermain bersama, walau pada akhirnya kami berbeda sekolah, wahyu dan aku di kompleks sekolah yang sama namun kami bersebrangan. Namun sayangnya, hingga saat ini aku sudah tidak pernah lagi melihat wajah mereka, aku tak tahu mereka sekarang dimana, dan aku tidak dapat menghubungi mereka lagi. Karena pada penghujung akhir kelas 5 SD aku terpaksa harus pindah ke Rembang untuk melanjutkan sekolah disana, karena Ayah dan Ibu mendaptkan kesempatan untuk pulang kampung dan dinas disana.
Aku orang yang pendiam dan pemalu ketika berhadapan dengan orang banyak saat kecil, makanya aku lebih suka mengamati tiap peristiwa yang ada saja. Namun banyak hal yang akhirnya berkesan dari tiap pengamatan itu. Aku pernah juara lomba puisi saat classmeeting dan itu jadi momen dimana aku bisa mendobrak zona nyaman pertama kali, aku pernah menangis di kelas ketika ada satu guru favoritku yang akhirnya harus pindah sekolah, kemudian beliau-lah yang menjadi guru pertama yang memiliki ikatan emosional denganku. Aku ditraktir dengan Renaldi saat akhir semester, dan beliau suka menelpon keluargaku juga menandakan sebuah kedekatan. Walau tak pernah mendaptkan juara 1 di kelas, setidaknya dulu aku pernah bertengger di sana saat ada pemeringkatan bulanan. Ya, setidaknya menyadarkanku, aku juga bisa berpotensi, tinggal man jadda wa jadda.
Terakhir aku ingin mendedikasikan paragraf ini untuk bercerita tentang keluargaku, yaitu Ayah dan Ibuku, the important things in my life. Ayah orang yang sedikit berbicara, namun dari sedikitnya itu, berbicara ayah sangat mendalam. sampai sekarang ayah menjadi sosok yang paling kuhormati. Tidak sedikit diwaktu kecil aku kena marah karena melakukan tindakan yang ceroboh, namun aku selalu menganggap itu adalah sebuah pembelajaran buatku tidak mengulanginya. Ayah selalu menjadi sosok hero buatku, pernah sesekali dia menyempatkan untuk mengantarkanku kesekolah karena aku kesiangan bangun dan dia juga harus berangkat ke kantor, dia mengantarkanku sampai depan kelas dengan berseragam lengkap, dan tiap langkah kepergiannya aku menangis memandangnya. Ayah bagiku adalah seorang lelaki tangguh yang sudah kenyang dengan asam-garam kehidupan. Beliau harus menahan kesedihan saat ditugaskan operasi ke maluku di saat yang bersamaan ayahnya meninggal, dan beliau baru bisa pulang ketika operasi selesai. Ya, saat itu akhirnya beliau hanya mampu tahlilan dari jauh dan baru menangis ketika berada di nisan ayahnya saat pulang kampung. Beliau juga yang menginspirasiku bahwa menjadi seorang lelaki harus berani, harus tegas, harus berani mengambil resiko, dan yang paling penting harus bertanggung jawab. Hingga sampai saat ini aku masih menganggap pahlawanku di dunia adalah ayahku.
Tentang ibu, Aku mungkin tak akan pernah sempurna menggambarkan deskripsi tentang ibu. Karena terlalu sempurna perjuangan beliau menjadi ibu buatku, hingga setitik pun aku merasa belum bisa membalas budi baik beliau. Ya, ibu yang berjuang selama 9 bulan mengandungku, merawatku dari kecil saat ayah sering bertugas jauh, dan menjadi suri tauladanku pertama di dunia. Aku melihat seorang pejuang sejati ada di diri beliau. Ibu menikah saat usia 27 tahun dimana ayah berusia 29 tahun. Usia itu bukanlah usia yang bisa dikatakan masih muda, usia itu adalah usia yang matang. Ibu sudah pernah bekerja di berbagai tempat. Ibu saat muda pernah bekerja di Surabaya selama beberapa tahun. Sebagai anak pertama dalam keluarga sudah pasti Ibu ingin menjadi contoh adik-adiknya dan bertanggung jawab atas keluarga. Ibuku akan selalu menjadi role modelku di sepanjang hidup, seorang yang selalu mendukung anaknya dengan diiringi lantunan doa semoga sang Illahi Rabbi menjaga anak semata wayangnya ini tetap dalam keadaan terbaik.
Keluargaku memang keluarga yang kecil, tapi aku berysukur karena semenjak kecil aku sudah banyak belajar dari keluarga kecil ku ini, dan menjadi bekal ke depan bagiku untuk mengarungi kerasnya dunia.
Akhir ceritaku saat kecil yaitu berada saat aku dan keluarga harus pindah ke Rembang. Naik mobil pick-up dengan segala perabotan yang masih bisa dibawa, sisanya?ditinggal bersama semua kenangan yang ada. Ya, meninggalkan semua kenangan yang telah ada dengan keluarga disana, menuju ke keluarga ku sebenarnya.

Perpisahan selalu memilukan, tapi dibalik setiap perpisahanlah ada makna yang akan selalu terpatri di sanubari tentang segala pelajaran hidup yang pernah menghampiri.

Selamat pergi, aku selalu merasa Mulaku disini (Palembang, 2008)

Bagikan

Jangan lewatkan

Mula
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

kritik sarannya sangat membantu Saya dan Anda berkembang menjadi lebih baik lagi.