#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku
Part 1 — Cerita Awalku
Datang ke Rembang adalah sebuah petualangan baru. Ya, aku memang tiap tahun di waktu lebaran pasti pulang ke Rembang. Namun tidak pernah terbesit di pikiranku sebelumnya untuk tinggal dan sekolah di sini. Walaupun ada rasa tentram di hati karena akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.
Saatnya perjalanan itu dimulai, aku masuk ke dalam sekolah SDN 3 Waru. Sekolah yang dekat sekali dengan rumahku tak sampai 5 menit sampai di sana, berbeda sekali dengan sekolahku dulu di Palembang yang harus berjalan lumayan jauh dan menyebrangi jalan raya. Ya, berbeda pula terkait dengan iklim pendidikannya dan juga infrastruktur penunjang pendidikannya. Sekolah ini dulu merupakan mantan sekolah dari kakekku saat mengajar, tepat setahun berselang sebelum aku masuk sekolah kakekku pensiun. Guru-guru masih mengenal baik kakek, dan tidak sedikit yang menaruh hormat padanya bahkan ada yang dulu merupakan muridnya. Begitupun teman-teman sebayaku yang masih teringat jelas bagaimana saat diajar oleh kakek. Beliau dikenal salah satu guru yang keras tapi juga suka bercanda. Pernah kata teman-temanku beliau masuk kelas dengan membawa palu, sebagai ketokan ke meja ketika ada yang ramai dan nakal di kelas.
Aku masuk sini saat kelas 5 semester 2, dimana saat itu pelajaran yang kupelajari sudah pernah aku selesaikan waktu di Palembang. Tak sulit bagiku disini untuk meraih 3 besar di kelas yang dulu hampir mustahil kucapai di Palembang. Ya, aku merasakan ketimpangan iklim dan taraf pendidikan dengan saat masih di Palembang. Ya bersekolah di daerah, bagi sebagian orang merupakan sebuah tradisi “Menyekolahkan anak di tempat yang dekat dan punya riwayat sejarah dengan keluarga itu”. Maksudku, masih banyak pilihan lain yang bisa diambil, tapi tetap saja aku disekolahkan di SDN 3 Waru karena faktor tersebut.
Namun, aku bersyukur. Disini aku lebih belajar untuk membentuk diri sendiri menjadi anak yang lebih terbuka kepada siapapun. Aku mendapatkan lebih banyak teman dan juga momen-momen kenangan. Ya, aku diajak mandi di kali, bermain bola tiap sore, mencuri melon, hingga bareng-bareng distrap di ruang guru karena kenakalan kami. Disisi lain aku menjadi lebih menikmati tiap hari ku disini karena punya lebih banyak teman.
Salah satu faktor yang sedikit menghambat penyesuaian adalah bahasa. Aku paham sedikit-sedikit bahasa Jawa karena Ibu dan Ayah sering berdialek dengan bahasa jawa. Namun aku susah dalam mengucapkannya. Sesampai di Rembang, dengan masih membawa logat sumatera, seringkali banyak orang yang lebih tua atau bahkan guru menegur karena mungkin aksennya terdengar kasar jauh berbanding terbalik dengan Jawa yang lemah lembut. Tidak sedikit teman yang menjahiliku karena ketidakpahaman akan bahasa Jawa mereka mengajari kata-kata yang maknanya jelek. Untung dengan pikiran yang jernih, aku tidak ikut-ikutan. Ada lagi sebuah momen mengejutkan ketika aku baru beberapa bulan disana langsung diminta guruku untuk Lomba Menyanyi Macapat, padahal ngomong bahasa Jawa saja belum begitu lancar. Walaupun dengan segala keterbatasan yang ada mulai bahasa hingga keterampilan skill yang kurang memadai (aku selalu tidak selesai mengerjakan tugas muatan lokal seperti membuat topeng, anyaman dll bahkan aku belum bisa naik sepeda saat itu) tapi di SDN 3 Waru aku jadi langganan diikutkan lomba. Ya walaupun juara juga ngga.
Aku menyadari di waktu kecil, dengan hobiku mengamati sesuatu, sedikit banyak aku paham akan karakteristik orang-orang terutama teman-temanku. Ya, aku cenderung tidak banyak bicara ketika tidak dibutuhkan, namun aku jadi lebih terbuka saat itu, terutama terbuka terhadap keanekaragaman yang ada. Aku hampir dekat ke tiap orang yang ada di kelas, dan memiliki momen kenangan masing-masing. Apalagi momen dimana, aku menangis saat menyanyikan lagu ST12- Saat Terakhir pada saat ujian sekolah Muatan Lokal. Ohiya satu lagi hal yang aku sadari berubah, aku disana jadi suka belajar. Bukan dalam artian belajar keras di kamar sampai tidak keluar-keluar. Namun lebih ke arah suka belajar di kelas mendengarkan guru saat mengajar, dan semangat dan rutin mengikuti tambahan jam pelajaran di rumah guru walaupun yang hadir 2 orangpun aku sikat. Alhasil saat itu aku mendapatkan nilai UN tertinggi di SD dan bahkan sekelurahan yang terdiri dari 3 sekolah. Ya, mendadak aku populer karena nilai yang tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Padahal sebenarnya pinter banget sih ngga.
Ohiya satu lagi aktivitas baru yang kudapatkan saat di Rembang adalah aku disekolahkan di sekolah islam saat sore, dikenal dengan nama Madrasah jika di Jawa. Sekolah ini dimulai dari abis ashar sekitar jam 15.00 sampai jam 17.00 sore. Ini adalah tradisi bagi para keluarga disini untuk membekali anak mereka dengan pendidikan agama sedari kecil. Aku telat saat itu masuk ke madrasah sehingga menjadi kedua tertua di kelasku (aku masuk ke kelas 2 diniyah saat sudah kelas 5 SD).
Akhirnya waktu bergulir, sudah saatnya aku harus melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Lagi-lagi pilihannya adalah yang dekat dan punya riwayat sejarah dengan keluarga. Akhirnya aku melanjutkan ke SMPN 1 Rembang tempat dimana semua paman dan bibiku bersekolah di sana. SMPN 1 Rembang juga merupakan sekolah yang bagus cuman bukan yang paling favorit. Aku sudah bisa naik sepeda saat itu, alhasil aku merasa lebih leluasa ketika bersekolah di sana.
Berada di lingkungan baru sekali lagi menjadi sebuah tantangan besar tersediri bagiku. Aku tipe yang tidak bisa langsung seterbuka dan se-nyetel itu di awal. Aku masih berusaha memahami pola-pola yang tepat bagaimana bisa beradaptasi dengan baik dan nyaman selama bersekolah. Apalagi saat itu teman SD ku hanya sekitar 5–7 orang yang melanjutkan ke sini. Dan, tidak ada yang sekelas denganku, karena… Aku diputuskan (oleh orang tua) untuk masuk kelas Imersi. Kelas Uji Coba pertama di SMP N 1 Rembang yang menggunakan sistem pengajaran Bilingual. Ya, bisa dibilang kelas ini juga merupakan kelas terbaik yang merupakan para kumpulan pilihan orang tua masing-masing. Akhirnya aku (terpaksa) masuk sana, bertemu dengan seluruh orang baru yang tidak kukenal sama sekali dan tidak ada yang rumahnya dekat denganku juga.
Kelas kami unik, kami diharuskan menjadi teman satu kelas selama 3 tahun tidak bisa bertukar kelas dengan yang lain karena beda sistem. Alhasil aku harus betah-betah di kelas ini. Syukur Alhamdulillah aku dikaruniai teman-teman yang nyaman dan asik selama di sini. Bisa disebut juga sebagai kompak. Bayangkan seluruh murid cowok saat itu sepakat untuk join ekstrakulikuler Karawitan (permainan alat musik Jawa) hanya karena sebuah ajakan seadanya di kelas dan merasa tidak dekat dengan teman kelas lainnya. Ya, bisa dipastikan kami pengacau disana. 75% peserta ekstrakulikuer berasal dari kelas kami. Kami juga biasa disebut oleh para guru yang mengajar sebagai kelas teramai. Karena anak-anak yang sangat hiperaktif (terutama yang perempuan) dan selalu ngomong jika di kelas, hal ini berkonotasi 2 yaitu aktif di kelas atau mengacaukan kelas.
Kegiatanku selama di SMP sedikit banyak memakan waktu luangku di Rumah dan juga bermain bersama teman-teman desaku. Apalagi saat itu bisa dibilang kelasku paling canggih karena sudah ada AC, Proyektor dan LCD. Juga kami sering sekali mendapatkan kesempatan mengunjungi lab.komputer karena dirasa memiliki pemahaman di atas rata-rata kelas lain. Aktivitasku juga bertambah menjadi suka bermain game (online/offline), terutama game Facebook yang saat itu sedang ngetren-ngetrennya. Namun hal lain di luar itu semua yang membuatku bersyukur hingga sekarang adalah aku mendapatkan 3 sahabat baik hingga terjaga sampai sekarang. Mereka sebenarnya teman main game yang memiliki jalur mobilisasi rumah terdekat dari rumahku walaupun sudah beda kelurahan. Mereka adalah Glory si Cerdas yang berperawakan santuy tapi pendiam dan tertutup, doi orang yang mengedepankan integritas nomor satu (papan dan buku berlapis dan bertingkat sebagai pencegahan orang mencontek dia) tapi bersama kami dia tidak akan jadi tertutup lagi, yang kedua Riyan si kecil pembuat onar dengan segala tindakan heroic nya melawan guru dan teman yang suka menindas, dia adalah orang yang paling setia-kawan. Walaupun paling berani diantara kami, dia adalah pribadi yang paling nurut sama perintah orang tua terutama kakak perempuannya, mbak desi. yang terakhir, Febi si anak kontemporer yang selalu tahu banyak hal (entah hal itu benar/salah), ahli komputer dan si gamers tapi merupakan relawan yang paling berbesar hati membantu ketika ada masalah. Ya merekalah yang mewarnai hari-hariku semasa SMP hingga bertumbuh dewasa kini. Kami menyebut diri kami Rangers.
Kami memiliki interest masing-masing, walaupun bersatu dalam game dan karawitan. Febi anak yang aktif di banyak kegiatan, dia ikut OSIS, Kirap Panji, Pramuka dan juga Drum Band. Berkat dia akupun akhirnya terjun juga ke dalam 3 organisasi yang disebutkan di awal. Glory mengasah kemampuan di olimpiade matematika, ya dia bisa dibilang talenta potensial. Riyan sama, hanya saja karena terlalu bengal dia keluar (atau bahkan dikeluarkan) dari olimpiade matematika. Namun, jangan salah sangka, walaupun kelakukan yang kadang tidak habis dipikir, dia merupakan seorang da’i kecil yang sering berdakwah di banyak tempat di pulau jawa. Sedangkan aku mencoba hal baru dengan ikut sanggar bahasa. Hal yang tidak pernah kusangka, dan mungkin baru terasa sense nya ketika sudah selesai SMP. Namun berkat sanggar bahasa inilah aku menjadi andalan Bu Nita dalam perlombaan2 terkait bahasa, seperti bulan bahasa dan juga bahkan olimpiade bahasa Indonesia.
Masa-masa SMP pun akhirnya mendekati penghujung cerita, walaupun banyak sekali yang akhirnya aku rasakan. Seperti mendapatkan sebuah keluarga baru, yang hampir setiap orang di kelas aku kenal dekat (mungkin karena 3 tahun bukan waktu yang singkat). Sedikit demi sedikit aku mulai membuka diri yang awalnya menjadi anak yang pemalu menjadi seorang yang berusaha memulai sebuah pembicaraan. Berusaha untuk memosisikan diri menjadi orang dewasa, seiring bertambahnya usia di sana. Ya, aku paham aku sudah mulai tumbuh ke remaja yang harus paham bahwa dia berada di sebuah lingkungan yang terdiri dari orang-orang lain. Sekarang, aku sudah mulai berpikir bahwa hidup bukan hanya tentang aku tapi tentang semua orang yang tinggal dan hidup juga di dalamnya.
Pada akhirnya, aku sadar ini adalah fase transisi yang siap mengantarkanku ke kehidupan yang lebih dewasa.
Saatnya tuk berkata, selamat tinggal masa kecil yang nyaman dan bahagia, aku siap menyambut dunia dan segala roller coaster kehidupan yang tersemat di dalamnya.
Bagikan
Memahami Diri
4/
5
Oleh
Anggi Renaldy
kritik sarannya sangat membantu Saya dan Anda berkembang menjadi lebih baik lagi.