MIMPI
#30HariBercerita
Part 1 — Cerita Awalku
Part 1 — Cerita Awalku
Waktu, sebuah hal yang sangat berharga bagi sebagian orang. Tidak, harusnya semua orang. Bagiku waktu adalah sebuah guru yang selalu mengingatkan tatkala sang murid lalai dan abai terhadapnya. Waktu juga yang akan mengajari kita menjadi dewasa, bagaimana tuk bersepakat dalam ragam baurnya denting dawai kehidupan. Dan waktu juga yang akhirnya membuat kita sadar, kita bukanlah pemiliki Sang Waktu.
high school life crisis
Hari ini adalah hari pengumuman SNMPTN. Ya, hari yang ditunggu — tunggu oleh mayoritas anak SMA sederajat di seluruh penjuru tanah air. Namun, sebelum itu ada yang harus dirangkai terlebih dahulu sebelum kotak pandora itu resmi dibuka.
Semester 6 SMA, adalah masa-masa dimana setiap anak SMA mengalami yang namanya a high school life crisis. Ya, jika kita nanti sudah besar problema dan pertanyaan horror yang kita hadapi seputar : Kapan Lulus, Mau kerja dimana, hingga Kapan Nikah?. Sedangkan satu pertanyaan yang bikin was-was dan yang bikin tidak bisa tidur saat SMA adalah “Mau Lanjut Kemana?”.
Masalahnya adalah menjawab pertanyaan ini bukan sekedar seperti kita mau bepergian rekreasi entah ke mana. Lebih dari itu, ini melibatkan perasaan, mimpi dan juga perjuangan yang akan bermuara kepada aspek ‘Harga Diri. Mungkin orang akan menganggap lebai hal ini. Tapi bagiku dulu yang sempat merasakan dag-dig-dug nya, hal ini adalah ikrar ku kepada orang-orang yang bertanya dan aku ceritakan, bahwasanya aku suatu saat akan mengijakkan kaki disana.
Singkatnya dari waktu-waktu perenungan dan segudang saran baik yang masuk dengan sendirinya ataupun yang dikonsultasikan sedemikian terencana aku memutuskan untuk masuk ITB. Hal ini bukan tanpa sebab. Pertama, dari dulu aku ingin sekali ke Bandung, bagiku Bandung adalah salah satu kota terindah di Indonesia dengan segala keistimewaannya dan aku ingin menghabiskan 4 tahun masa kuliahku disana. Kedua, sudah saatnya aku harus mencoba mandiri dan dewasa bagi diriku sendiri dan keluargaku. Ya, paradigma tentang melanjutkan sekolah yang ‘dekat & historis keluarga’ ingin kubuang jauh-jauh. Karena aku sadar saatnya sekarang aku harus berkembang dengan keluar zona nyaman. Ketiga, aku selalu ingin mencari kolam yang besar untukku berenang, ya memang menantang, namun aku sadar ketika aku bisa mengarunginya maka aku akan menjadi pribadi yang lebih hebat sebelumnya. Dari semua alasan itu aku memutuskan untuk masuk ITB, salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
Namun, aku adalah aku yang hanya punya mimpi selangit namun tidak punya action plan untuk mewujudkan mimpi itu. Ya, aku sebelumnya tidak memikirkan peluang diterimanya siswa di SMA ku di ITB. Setelah resmi mendeklarasikan niatanku untuk masuk kesana, aku baru sadar peluang masuk ITB hanya 0.004% tiap tahunnya dari sekolahku, itupun sudah aku sedikit kasih pembulatan untuk rasio. Terlebih lagi persaingan secara nasional juga sangat ketat, memang sebuah hal yang wajar terlebih semua anak SMA juga pasti akan mendambakan ke arah sana. Tidak apa-apa, setidaknya aku cukup percaya diri dan idealis (tapi tidak realistis) melihat masa depanku akan berkuliah disana. Dan mulai saat itu aku telah bertekad bulat bahwa pelabuhanku selanjutnya ada di sana.
Tiap harinya, setiap ada jam kosong pasti kugunakan untuk mampir ke ruang BK. Bukan untuk cari tempat istirahat, namun mencari ketentraman hati dengan berkonsultasi dan melihat peta persaingan di sekolah. Ya, walaupun sebenarnya hal itu tidak terlalu signifikan berubah. Ohiya aku berusaha memanfaatkan waktu luang untuk melaksanakan sholat Dhuha di Masjid Sekolah. Karena aku sadar, semua rencana terbaik ada pada-Nya, maka yang mampu aku perjuangkan adalah mengetuk pintu hati-Nya agar mendekatkan rencana yang aku punya menjadi rencana terbaik-Nya.
Akhir masa SMA kugunakan lebih banyak waktu di sekolah. Selain mengikuti tambahan pelajaran dan try out, aku juga lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman yang aku yakin akan berpisah sebentar lagi dengan jalannya masing-masing. Satu hal yang aku usahakan, aku ingin membuat farewell party untuk seluruh temanku satu angkatan. Ya, hitung-hitung menambah momen kenangan di ujung penghabisan.
Ada cerita unik, semasa aku proses inputan pilihan kuliah di SMA. Ya, aku baru sadar Glory (Rangers sisa yang masuk SMA 1) juga ternyata memilih ITB sebagai salah satu labuhan berikutnya. Dulu, waktu kelas XI aku pernah berbincang-bincang selama sepulang sekolah di motor terkait kehidupan pasca SMA. FYI, selama 3 tahun kita selalu berangkat bareng ke sekolah dengan motor megapro hijau tua 2006ku. Ya, disana kita berbincang tentang kemana kita akan melanjutkan perjalanan setelah ini. Aku dengan mantap bilang: “aku ingin ke Bandung, Paris Van Javanya Indonesia, soal jurusan aku tak tahu yang penting aku ingin ke sana”. Bahkan dulu, sempat aku menuliskan mimpiku di secarik kertas dengan aksara jawa lalu aku posting di social mediaku sebagai deklrasi bahwa mimpiku bulat ke sana. Lalu Glory menyambut, “aku mungkin akan melanjutkan yang dekat yaitu di Semarang soalnya sudah ada kakak laki-lakiku di sana”. Dan kemungkinan besar glory akan melanjutkan ke program studi Kimia sesuai dengan ayahnya yang guru kimia. Memang saat itu dia salah satu calon potensial di olimpiade kimia karena kecerdasannya.
Waktu telah berselang, Aku melihat hingga mendekati hari-hari akhir pendaftar dari SMAku yang memilih ke ITB ada sekitar 7–8 orang. Dengan peluang yang ada, kemungkinan hanya satu yang akan lolos, syukur-syukur maksimal 2 namun dengan jurusan yang berbeda dan itupun hampir mustahil. Secara peringkat aku berada di urutan 3 dari 8 anak yang ada. Dan sudah pasti akan susah lolosnya, namun nama yang membuatku kaget adalah ada nama Glory di dalam pendaftar yang ada. Jelas nilaiku dan dia berbeda jauh apalagi ditambah segi prestasi akademik. Namun hal yang tidak kusangka bahwa kami memilih fakultas yang sama di list pilihan yang ada yaitu FTI. Ya, aku pun segera menggantinya dengan FTSL bukan karena aku merasa kalah dalam bersaing, tapi lebih dalam dari itu, aku tidak ingin bersaing dengan sahabat baikku sendiri, biarlah dia menggapai rezekinya jika memang itu jalannya. Namun, yang aku baru sadar setelah selesai waktu pendaftaran SNMPTN, Glory mengganti pilihannya ke FMIPA ITB, sebuah hal yang aku tidak habis pikir, karena aku rasa dengan pilihan sebelumnya pun aku yakin dia pasti lolos karena notabene dia salah satu pemenang olimpiade nasional. Akhirnya hingga selesai masa SNMPTN tidak ada yang memilih FTI di pilihan daftar jurusan yang diinginkan.
Selesai ujian nasional, aku memutuskan untuk akhirnya belajar mempersiapkan SBMPTN. Hal itu juga didasarkan oleh plan back-up ketika aku tidak diterima setidaknya aku sudah siap mengikuti SBMPTN walaupun aku masih optimis akan masuk. Selain itu juga aku pribadi yang tidak produktif ketika tidak ada kesibukan maupun rutinitas, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti temanku untuk bimbingan belajar ke kota Semarang 120 km jauhnya dari rumahku. Ya, hitung-hitung belajar mandiri dan mencoba membebaskan diri dari kepenatan di Rembang. Aku naik motor bareng teman-temanku dan mencari kos-kosan di sana. Aku memilih tempat di dekat Tembalang karena ada saudara di sana yang berkuliah di Undip, hitung-hitung melihat bagaimana kehidupan seorang mahasiswa.
Tarian Takdir
Hingga akhirnya waktu pengumuman pun tiba. Saat itu keadaanya aku berada di Semarang bersama teman-temanku di kos-kosan menunggu pengumuman yang diinfokan dapat diakses di Jam 5 sore. Kami pun bersama — sama memandangi laptop yang hanya satu dan berganti-gantian membuka pengumuman. Ada temanku yang tidak sabar, akhirnya memutuskan membukanya via HP. 2 temanku akhirnya sudah membuka, satu diterima dan satu lagi harus berbesar hati melihat dirinya tidak lulus SNMPTN. Sekarang giliranku yang membuka, namun karena traffic websitenya penuh akhirnya aku memutuskan membukanya setelah selesai sholat magrib sembari berdoa dan mencari waktu yang agak tenang. Sholatku benar-benar khusyuk seraya meminta kelancaran hasil dari Allah Swt. Akhirnya ketika masih berada di masjid setelah usai sholat dan berdoa aku mencoba memberanikan diri membuka pengumuman yang ada. Dan tulisan yang ada:
Maaf, anda belum dinyatakan lulus SNMPTN.
Ya, tulisan dengan background warna merah itu menghiasi pengumuman di HPku. Terpuruk, dan hancur seketika perasaan saat itu. Namun, aku harus beranjak pulang ke kosan untuk setidaknya menenangkan diri di sana. Sampai di sana aku sudah dinanti-nanti dengan teman-temanku yang sudah bercanda-canda dengan bahasan lainnya, yang aku bisa berikan hanya tatapan senyum dengan menggelengkan kepala. Teman-temanku sudah paham apa artinya, sambil memberikan semangat untuk ke depannya.
Aku harus menelpon orang tua, setidaknya memberikan kabar agar mereka tidak diselimuti rasa kekhawatiran. Orang yang berani kutelpon adalah Ibu, disana aku langsung menyampaikan permintaan maaf karena belum bisa memberikan kabar bahagia untuk beliau. Beliau paham dan akan berusaha menyampaikan dengan baik-baik ke Ayah. Di ujung pembicaraan sebelum ditutup aku berjanji kepada Ibuku akan membayar lunas semua kerja kerasnya dengan masuk ITB. Itu Janjiku.
Aku awalnya tidak mau pulang, karena akan terus merasa bersalah terutama kepada keluargaku yang telah memberikan support yang maksimal kepadaku. Tapi, waktu menyuruhku harus pulang, karena aku harus diwisuda terlebih dahulu di sekolah sekaligus menjadi ketua panitia acara perpisahan. Ya, aku harus belajar membesarkan hati dan tetap mendongakkan kepala karena kegagalan bukan akhir dari segalanya.
Hari-hari pertama aku pulang lagi ke Rembang dan main ke sekolah bertemu teman-teman untuk membahas acara perpisahan, obrolan tidak lepas dari seputar kehidupan pasca SMA. Ada yang membahas persiapan berkas-berkas yang baru saja diterima SNMPTN atau bahkan ada yang sudah membahas rencana kampus swasta mana yang akan dituju. Aku cuek, bagiku mimpi masuk ITB masih terpatri kuat di diri ini seraya selalu berdoa untuk minta dimudahkan jalannya oleh Allah SWT. Namun, ada satu kejadian yang membuatku merasakan kembali bagaimana terpuruknya arti kegagalan. Saat itu aku bersama salah satu temanku datang ke ruang guru untuk mencari salah seorang guru guna meminta izin penggunaan tempat, ketika sudah memasuki koridor ruangan aku berpapasan dengan salah seorang guru yang menanyakan kabar SNMPTN kami, ya temanku ini lolos sedangkan aku tidak. Kemudian, salah satu guru tadi akhirnya hanya berbincang-bincang dengan temanku tadi, berbicara tentang seputar PTN yang ia terima dan alumni-alumni sekolahku yang sudah sukses di sana. Sedangkan aku, harus terima berdiri mematung mendengarkan yang sebenarnya malas aku dengarkan. Pun ketika di ruang guru hal yang terjadi sama saja, semua guru hampir hanya berbincang dan menyelamati temanku yang lolos ini. Rencana kami yang awalnya hanya ingin mencari salah seorang guru, jadi berujung pada bertemu semua guru yang ada di sana. Memang, bagi kami sekolah daerah, lolos SNMPTN merupakan suatu yang langka dan prestise, jadi tak ayal semua orang mengidam-idamkan mendapatkannya apalagi pengumumannya rutin tiap tahun selalu eksklusif di post di FB Sekolah dan semua orang bisa membacanya. Dulu semenjak kelas X, aku hanya bisa mengucapkan selamat kepada kakak-kakak yang lolos dan seraya berdoa bisa menjadi seperti dirinya. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi sekarang.
Meskipun dirundung tekanan batin yang luar biasa selama di Rembang, syukurnya acara farewell party kami berjalan sukses. Aku banyak mendapatkan ucapan terimakasih dari para teman-temanku atas acaranya yang berkesan, sembari aku membalas ucapan mereka dengan berbalas terimakasih sambil menyemangati pula terkhusu teman-teman yang kemarin senasib SNMPTNnya denganku untuk sama-sama berjuang kembali. Di titik ini aku jadi lebih rasional dan realistis, dengan tekad tidak mau membuat orang tua kecewa dua kali aku berangkat ke Semarang dengan membawa segudang tekad yang ingin diwujudkan. Beberapa hari sebelum keberangkatan ini, aku mendapatkan kabar dari ibu bahwa ayah sekecewa itu anaknya ini tidak lolos SNMPTN, selain karena ada teman mainku yang lolos SNMPTN notabene ayah tahu bahwa aku lebih mampu dari dia tapi ternyata aku tidak berhasil, maka kekecewaan itu diluapkanlah ke ibuku. Ya, aku hanya bisa menenangkan ibu dengan janji bahwa aku akan pulang dengan membawa kabar baik. And the journey begins.
Selama masa-masa penatian SBMPTN , aku akhirnya mendaftar ke berbagai perguruan tinggi lain baik yang kedinasan maupun negeri lainnya. Hanya saja aku mengurungkan niat untuk mendaftar ke swasta dikarenakan persoalan biaya walau aku tahu semakin akhir pendaftaran kampus swasta akan semakin mahal. Akhirnya aku memilih mendaftar STIS sebagai perguruan tinggi ikatan dinas, STKS di Bandung sebagai perguruan tinggi kedinasan, dan UGM dalam jalur seleksi mandiri. Pilihan-pilihan itu berdasrkan minat dan juga harus memilih karena jadwal tes nya bersamaan dengan kampus-kampus lain, contoh STIS & STAN, juga ujian mandiri UI & UGM. Dan pastinya sambil menyiapkan untuk tes SBMPTN. Prinsipku pantang pulang hingga berhasil membawa kesuksesan.
Tepat di akhir juni dalam waktu-waktu ramadhan mendekati 10 hari terakhir aku memutuskan pulang. Kebetulan saat itu semua tes sudah aku selesaikan dan tinggal menunggu pengumuman. Aku memutuskan pulang menemani keluarga di rumah, sambil menunggu pengumuman-pengumuman itu yang datang silih berganti. Dan Wallahu Alam, di akhir masa penatian, ternyata aku diterima di 4 perguruan tinggi tersebut. Ya, sekarang aku diberikan Allah jalan yang bahkan tidak aku duga-duga sebelumnya, sekarang aku datang kepada keluargaku dengan membawa opsi-opsi kampus yang bisa aku pillih dan ke-empatnya merupakan salah satu kampus pilihan di Indonesia. Namun balik lagi, keluarga mengembalikan semua keputusannya kepadaku. dan akhirnya dengan mantap aku memutuskan untuk memilih ITB sebagai jalan petualanganku selanjutnya.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5)