Pertemuan 1 Fiqih Kitab Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah
Segala puji bagi
Allah SWT yang meridhoi untuk mempelajari syariat-syariat Isam di sini. Penulis
mengawali bukunya dengan Bismillahirrahmanirrahim ini berdasarkan dari hadis “Setiap
perkara baik yang tidak diawali dengan basmalah maka perkara itu akan mendapat
sedikit keberkahan.” (HR. Al-Khatib) Maka kita mengucapkan ketika
mengerjakan sesuatu itu dengan Alhamdulillah dan ucapkan bismillah. Alhamdulillah
ini diucapkan ketika melakukan perbuatan-perbuatan yang mempunyai keutamaan
bukan perbuatan yang biasa misalnya mengangkat gelas bismillah, masukan ke
mulut bismillah, enggak. Tapi ketika minumnya bismillah, tapi ketika mengangkat
gelas ini enggak perlu mengucapkan Bismillah. Atau mengambil barang bismillah,
tidak perlu tapi ketika makan mengucapkan Bismillah.
Segala puji bagi Allah
subhanahu wa taala yang telah mewajibkan kepada kita mempelajari syariat - syariat
Islam. Di sini yang dimaksud dengan syariat-syariat Islam adalah
syariat-syariat yang wajib misalnya masalah salat itu wajib, masalah zakat wajib,
masalah puasa wajib, sampai haji wajib. Wajib yang berhubungan tentang sah atau
tidak sahnya ibadah kita itu wajib mempelajarinya.
Dan yang diwajibkan
selanjutnya kepada kita adalah Fikih muamalah. Kenapa? karena kita pasti bakal berhubungan
dengan manusia. Misalnya jual–beli barang, atau menitipkan barang atau kerja
sama. Apa yang berhubungan dengan muamalah maka wajib juga mempelajarinya. Dikarenakan
Allah mengetahui perbuatan kita, maka jangan sampai kita salah karena kita tidak
tahu hukumnya. Misalkan Antum Shalat di lapangan pakai sandal sah tidak
salatnya? Pendapat yang satu tidak sah kalau ada kotoran, pendapat lainnya bilang
sah. Nah hal seperti itu kita tahu dari ilmu fikih, sah atau tidak sahnya
ibadah kita. Jangan kita berpatokan pada perasaan. karena ada Alquran, sunah,
ijma’, qiyas, maka perasaan tidak bisa dijadikan dalil.Kenapa orang masih ragu-ragu
hal seperti itu karena kita belum mempelajari secara baik. Insyaallah kita akan
pelajari satu-satu dan pelan-pelan.
Insyaallah untuk
memahami sesuatu yang diwajibkan kepada kita yaitu fikih ibadah. Tahun kedua
kelas ini kita mempelajari fikih ibadah yaitu fikih taharah sampai Haji. Kitab
ini juga untuk mengetahui yang mana halal dan yang mana haram. Tujuan orang
yang mempelajarinya untuk mengamalinya. Tujuan kita mempelajari syariat itu
untuk mengamalinya. Tahu kita ilmu baru kita Amali, tahu kita masalah baru kita
amali, tahu kita zina haram tidak boleh kita lakukan, tahu Syirik itu dosa
besar maka kita menjauhi dari perbuatan demikian.
Kita juga minta
kekekalan AllahSubhanahu Wa taala di Surga. Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan
selain Allah subhanahu wa taala dan Nabi Muhammad adalah hambanya Allah dan
rasulnya Allah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh makhluk yaitu rahmatanil
alamin. Kata Allah “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali
sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS Al-Anbiya: 107) Yang dimaksud alam adalah seluruh makhluk. Apa
perbedaan Rasul dan Nabi? Rasul berkewajiban untuk menyampaikan, dan Nabi tidak
berkewajiban untuk menyampaikan.
Yang tidak boleh
seorang muslim itu adalah harus seorang muslim itu tahu masalah fikih seperti
ini. Bukan berarti wajib pakai buku ini. Selalu meminta kepada Allah subhanahu
wa taala agar memberikan kitab ini bermanfaat. Dan menjadikan apa yang saya kumpulkan
ini, masalah-masalah yang ada, sebagai bentuk keikhlasan mendapatkan Ridhanya Allah
subhanahu wa taala.
Thahara
Thahara secara
bahasa adalah bersuci. Adapun secara istilah yaitu terlepas dari najis yang tampak
maupun tidak tampak. Sebagian ulama mengatakan Thahara itu mengangkat sesuatu yang
tanpanya tidak bisa melaksanakan ibadah. Misalnya salat itu tidak sah tanpa
Thahara. Kemudian baca Quran juga tidak boleh tanpa Thahara menurut empat
mazhab. Ketika seseorang menyentuh Qur’an wajib suci dari hadats kecil.
Dikatakan di sini
dan taharah itu ada empat jalan wasilahnya dalam mazhab Syafii. Yang pertama
dengan air, yang kedua dengan tanah yang ketiga dengan pakai batu, yang keempat
pakai samak. Dikatakan dalam Hadits ““Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci
dan menyucikan, tak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” [HR. Abu
Daud, no. 66; Tirmidzi, no. 66; An-Nasai, 1:174; Ahmad, 17:190]
Pertama air itu adalah
sesuatu yang tanpa ada embel-embel. Air tetap dinamakan air tapi air teh bukan air
suci karena sudah berubah. Kita bilang air sirup memang berubah, namun selama
namanya air tetap masuk dalam kategori air. Adapun air mutlak diturunkan oleh
tujuh tempat, di tujuh bagian:
- Air laut
- Air hujan
- Air Sungai
- Air Sumur
- Mata Air
- Air Embun
- Air Salju
Maka selain air ini
bukan air mutlak sehingga tidak bisa untuk bersuci misal air teh tidak bisa.
Jadi air itu tidak
sah seseorang mengangkat hadats dan mengangkat najis kecuali dengan air. Kenapa?
Karena wasilah taharah ada empat ini. Tapi tanah itu secara hakikat tidak
mengangkat najis dan hadas dia sebagai pengganti. Misalnya Bapak tidak ketemu
air di waktu subuh sampai asar lalu menggunakan tanah, kemudian setelah ashar
ada air, maka boleh tidak pakai tanah yang tadi? Tidak boleh karena Tanah hanya
pengganti sementara. Dan hadas yang tadi masih ada, maka harus dihilangkan dengan berwudu.
Jadi ketika bapak sudah
ketemu air bapak tidak bisa tayamum. Kalau baru ketemu di waktu asar enggak
bisa dipakai tayamumnya lagi. Karena gunanya Tayamum itu adalah sebagai
pengganti sementara, bukan sebagai pengangkat hadats. Air ini bisa dipakai
untuk mengangkat najis ketika tidak berubah. Tapi ketika berubah rasa, warna,
bau dengan perubahan yang mencolok atau perubahan yang kuat, hingga perubahan
itu mengubah air tersebut. Bahkan jika hanya 2-3% perubahannya tapi telah
mengubah air tersebut maka tidak bisa. Apa lagi jika perubahan yang brutal
karena besar dan kuatnya. Nah kalau ada perubahan dari rasa, bau dan warna
dengan perubahan yang besar maka tidak bisa dipakai untuk taharah lagi. Kecuali:
- Jika dia
berubah dengan alami maka tidak masalah. Misal air di suatu tempat berubah
warna seiring waktu mak air ini masih bisa dipakai taharah.
- Atau dia
kemasukan benda suci tapi hanya numpang lewat saja. Misal masuk sabun
datang sebentar terus kita ambil lagi, kira-kira ada perubahan tidak? Ada.
Tapi apakah perubahan ini akan hilang? Iya.
- Atau masuk
kepada air itu sesuatu yang najis
tapi kita tidak tampak. Itu juga tidak menganggu kesucian air tadi. Misal
ada cicak jatuh ke air itu tapi kita tidak tahu, maka air itu tidak bisa
dihukumi najis.
Kapan dia tidak
bisa dipakai untuk taharah? Apabila dia bersatu atau larut dengan benda suci
yang lain yang menjadikan dia berubah. Misalnya sabun batang kalau lama diletakkan
di kamar mandi kemudian larut, sehingga tidak boleh dipakai karena larut. Maka
perubahan seperti itu menjadikan tidak menyucikan lagi. Dikarenakan ada
perubahan besar dan benda itu melarut. Tapi ketika kemasukan benda suci, tapi tidak
melarut dan kita bisa mengambil lagi, maka itu tidak masalah. Misalnya kayu. Kayu
kalau masuk ditarik lagi, dan baunya tidak kuat mengubah, maka bisa dipakai untuk
bersuci.
Nah ketika tadi terjadi
perubahan yang besar pada rasa, warna dan bau, maka tidak sah taharah dengan
yang tadi, yaitu apabila ada air mutlak yang kemasukan dan merubah rasa, warna
ataupun baunya yang besar dikarenakan benda apa pun yang masuk maka tidak sah
digunakan untuk taharah. Kecuali jika berubahnya alami karena waktu, kemudian bendanya
turun namun bisa diambil secara langsung, dan tidak larut atau dia masuk tidak
tampak dari penglihatan kita, maka itu tidak dihukumi.
Perubahan secara
hukum taqdiri (praduga) itu seperti perubahan yang tampak. Misalnya
kamar mandi Antum kemasukan bangkai kucing, mungkin warna air dan baunya bakal
hilang itu namanya perubahan taqdiri yang tidak tampak. Tapi air itu dihukumi
najis. Tapi kalau perubahan yang tampak ada. Yaitu kemasukan beberapa gelas
darah ke bak mandi kan jelas berubah. Kalau Masih kelihatan airnya maka itu sah
karena perubahannya tidak besar.
Jika masuk ke dalam
suatu air yang suci tadi, tapi dia tidak punya bau, tapi berubah warnanya, berubah
rasanya, maka ditakar, apakah ini berubahnya parah ataukah berubahnya ringan. Kalau
ringan maka dihukumi Suci, kalau perubahannya besar maka tidak bisa dipakai. Jadi
air itu tadi ada yang suci mensucikan, ada yang suci dan ada yang najis. Suci mensucikan
kalau murni, kemudian yang suci adalah seluruh air selain air najis. Air najis
yang kemasukan benda najis misalnya kemasukan bangkai. Jika air suci dan
mensucikan bercampur dengan najis maka Jadi najis, kalau bercampur dengan suatu
yang suci berubah sifatnya suci Tapi tidak mensucikan.
Tidak mempengaruhi
perubahan yang ringan kepada status air. Dan tidak mempengaruhi perubahan yang disebabkan
lamanya dia menetap di air itu. Misalnya keluar warna hijau dikarenakan lumut.
Kalau disengaja tidak boleh, tapi kalau alami memang karena lama banget diletakkan
di sana, maka tetap dihukumi suci dan mensucikan. Kemudian tidak juga merubah
hukum air itu ketika air itu bercampur dengan tanah. Misalnya antum masukan
tanah kira-kira berubah tidak rasanya? Berubah. atau misal wadahnya dari tanah.
Namun hal itu tidak mempengaruhi kesucian dari air. Atau Antum masukkan ke
dalam air itu sifat dari tujuh air tadi. Air laut sifatnya asin, antum masukan
ke dalam air garam sama seperti air laut, ketika ada perubahan air yang awalnya
asin ke tawar. Apakah perubahan itu menjadikan air itu tidak suci mensucikan? Berubah
tapi tetap suci dan mensucikan karena merubah sifat dari sifat yang lain ke
sifat air yang lain juga, tapi sama-sama sifat air yang suci dan mensucikan.
Kemudian ketika air
berubah dikarenakan lumut, maka juga tidak mengubah kesucian air. Tetap suci.
Tapi berubah dikarenakan lumut. Warnanya akan menyesuaikan tanah-tanah
sampingnya dan tidak mungkin bisa dilewatkan maka perubahan itu dianggap tetap
suci dan mensucikan. Misalnya kira-kira di sungai yang keruh karena banyak
sampah dan warnanya berubah, itu suci secara antum kalau mau pakai insyaallah
sah.
Dan tidak mempengaruhi
juga dengan sesuatu perubahan yang benda itu cuma lewat. Misalnya suatu benda
dicelupkan, maka ini tidak mempengaruhi, kecuali kalau benda itu dikocok – kocok
dengan sengaja. Seperti daun-daun sama ranting-ranting kayu itu kalau dia turun
doang itu tidak masalah. Antum ambil juga tidak masalah, Antum biarkan tidak
masalah, kalau dia alami. Tapi kalau dia buatan kita, kita masukan lalu kita
tarik lagi itu tidak bisa. Tapi kalau alami misal ranting di sumur dan membuat
warnanya berubah menjadi warna hijau itu semua dibolehkan, dan masih dianggap
suci dan mensucikan.
Dan tidak
mempengaruhi juga jika dicampur dengan air garam tetap suci dan mensucikan.
Kenapa? Karena sifat air itu ada yang asin. Tidak masalah juga dengan daun-daun yang
berjatuhan dari pohon, Dan perubahan
seperti itu tidak mempengaruhinya selama yang jatuh adalah sesuatu yang larut
dan alami, dia tetap suci dan mensucikan. Misalnya ada beberapa buah-buahan jatuh,
itu tidak masalah selama masih alami. Kalau sudah berubah rasa dan warnanya itu
nanti ada ukurannya Insyaallah.
Air itu terbagi dua,
ada namanya Air Qalil dan Katsir. Air Qalil itu di bawah dua kullah. Dua kullah
itu sama dengan 216 Liter. Sedangkan air katsir itu di atas dua kullah. Maka
kemasukan najis itu besar pada air Qalil maka tidak bisa dipakai. Namun Air
Katsiir ini kemasukan bangkai anjing misalnya 10 biji masuk di kolam renang
yang dia besarnya 2000 Liter. Maka tidak mempengaruhi kesucian air tersebut, kecuali
berubah warna, rasa dan bau. Kalau belum berubah ini maka tetap suci.
Dua kullah kalau
ukuran kubusnya 60 x 60 x 60 cm. Makanya bak kamar mandinya dibuat lebih dari
dua kullah, biar tenang, ketika ada bangkai tikus tidak khawatir. Itulah pentingnya
ketika kita profesional mempunyai ilmu, semuanya dibuat dengan ilmu. Misalnya
kita membuat WC tidak boleh menghadap kiblat.
Air yang Dimakruhkan
Memakruhkan air yang
sangat panas baik dipanaskan maupun alami. Air panas makruh karena bisa merusak
kulit. Ataupun air yang sangat dingin jika dipakai untuk berwudhu, bersuci dan
semisalnya. Dan dimakruhkan pakai Air Musyammas yaitu air yang dipanaskan di
bawah matahari dengan tembaga ataupun kuningan. Karena alasannya dapat
menghasilkan penyakit. Air Musyammas ini dimakruhkan untuk badan. Hilang
makruhnya Air Musyammas dengan didinginkan.
Air Musta’mal
Tidak sah bersuci atau
mengangkat najis dengan air musta’mal. Yaitu air yang sudah dipakai untuk
ibadah yang wajib. Misalnya air wudhu yang turun dari tangan pertama itu
musta’mal. Di sini air musta’mal yang dibawah dua kullah. Artinya kalau ada air
mustakmal di atas dua kullah boleh dipakai. Misalnya Antum mandi wajib ke sungai
lalu menceburkan diri maka boleh. Walaupun masuk ke sungainya bareng-bareng
tetap sah, selama air musta’mal itu di atas dua kullah. Misalnya bak mandi
Antum ukurannya 50*50*50 cm. Misal dimasukkan untuk cuci tangan, maka tidak
bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain.
Air mustamal tadi
tidak sah untuk taharah baik untuk menghilangkan najis atau mengangkat hadats.
Jika seseorang yang memasukkan tangannya ke air di bawah dua kullah tanpa ada
niat untuk untuk menyendok. Misalnya dia sudah berwudhu tapi di anggota tubuh selanjutnya
dia menyelupkan tangannya tapi niatnya adalah untuk membasuh bagian yang diwajibkan.
Misalnya memasukkan tangan dengan niat membasuh bukan niat untuk mengambil air.
Ketika dia niat untuk membasuh tangannya, maka air itu menjadi mustamal. Tapi
kalau dia niat untuk mengambil air maka tidak jadi musta’mal. Jangan taktu melihatnya
ini perkara besar, santai saja. Namun paling bagus pakai air yang mengalir.
Dan air musta’mal
itu boleh dipakai untuk sesuatu yang disunahkan. Misalnya Bapak melakukan wajib
dulu yang pertama lalu mau lanjut sunah masuk kaki kedua dan ketiga itu boleh, karena
yang wajibnya telah selesai. Atau misalnya Bapak sudah mandi wajib, sudah kena
semua badannya. Kemudian sudah kering badannya, bapak mau mengambil wudhu untuk
sunah. Misal untuk sunah tidur. Lalu berkumur-kumur ke dalam air tersebut itu
boleh, karena untuk sunah. Boleh air mustamal itu dipakai untuk basuhan kedua dan
ketiga karena hukumnya sunah. Sahnya bersuci dengan air mustamal untuk
perkara-perkara yang disunahkan.
Hadits air-air suci
“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali
oleh sesuatu yang dapat mengubah bau, rasa, atau warnanya.” [HR. Ibnu
Majah]. Adapun dalil kesucian embun dan salju adalah riwayat Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW selesai bertakbir dalam sholat, beliau diam sejenak
sebelum membaca Al Fatihah. Abu Hurairah pun bertanya, "Wahai
Rasulullah, demi bapak dan ibuku, beritahukanlah kepadaku apa yang engkau
ucapkan pada saat engkau diam sebelum membaca Al Fatihah."
Nabi pun bersabda,
"Aku mengucapkan, 'Allahumma baidni wa baina khataya kama ba'adta
bainal masyriqi wal maghribi, Allahumma naqqini mi khathayaa kama yunaqqats
tsaubul abyadhu minaddanas, Allahummaghsilni min khatayaya bisalji wal-maai wa baradi'/Ya
Allah, jauhkanlah antara aku dengan dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan
antara timur dengan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosaku
sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, basuhlah aku dari
dosa-dosaku dengan salju, air, dan embun."
Adapun dalil
kesucian air laut adalah ketika Nabi ditanya tentang suci atau tidaknya air
laut, Nabi menjawab, "Huwattahuru ma-uhu al-hillu maytatahu."
Yang artinya, "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya."