Rabu, 14 Agustus 2024

Pertemuan 1 Fiqih Kitab Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah


Segala puji bagi Allah SWT yang meridhoi untuk mempelajari syariat-syariat Isam di sini. Penulis mengawali bukunya dengan Bismillahirrahmanirrahim ini berdasarkan dari hadis “Setiap perkara baik yang tidak diawali dengan basmalah maka perkara itu akan mendapat sedikit keberkahan.” (HR. Al-Khatib) Maka kita mengucapkan ketika mengerjakan sesuatu itu dengan Alhamdulillah dan ucapkan bismillah. Alhamdulillah ini diucapkan ketika melakukan perbuatan-perbuatan yang mempunyai keutamaan bukan perbuatan yang biasa misalnya mengangkat gelas bismillah, masukan ke mulut bismillah, enggak. Tapi ketika minumnya bismillah, tapi ketika mengangkat gelas ini enggak perlu mengucapkan Bismillah. Atau mengambil barang bismillah, tidak perlu tapi ketika makan mengucapkan Bismillah.

Segala puji bagi Allah subhanahu wa taala yang telah mewajibkan kepada kita mempelajari syariat - syariat Islam. Di sini yang dimaksud dengan syariat-syariat Islam adalah syariat-syariat yang wajib misalnya masalah salat itu wajib, masalah zakat wajib, masalah puasa wajib, sampai haji wajib. Wajib yang berhubungan tentang sah atau tidak sahnya ibadah kita itu wajib mempelajarinya.

Dan yang diwajibkan selanjutnya kepada kita adalah Fikih muamalah. Kenapa? karena kita pasti bakal berhubungan dengan manusia. Misalnya jual–beli barang, atau menitipkan barang atau kerja sama. Apa yang berhubungan dengan muamalah maka wajib juga mempelajarinya. Dikarenakan Allah mengetahui perbuatan kita, maka jangan sampai kita salah karena kita tidak tahu hukumnya. Misalkan Antum Shalat di lapangan pakai sandal sah tidak salatnya? Pendapat yang satu tidak sah kalau ada kotoran, pendapat lainnya bilang sah. Nah hal seperti itu kita tahu dari ilmu fikih, sah atau tidak sahnya ibadah kita. Jangan kita berpatokan pada perasaan. karena ada Alquran, sunah, ijma’, qiyas, maka perasaan tidak bisa dijadikan dalil.Kenapa orang masih ragu-ragu hal seperti itu karena kita belum mempelajari secara baik. Insyaallah kita akan pelajari satu-satu dan pelan-pelan.

Insyaallah untuk memahami sesuatu yang diwajibkan kepada kita yaitu fikih ibadah. Tahun kedua kelas ini kita mempelajari fikih ibadah yaitu fikih taharah sampai Haji. Kitab ini juga untuk mengetahui yang mana halal dan yang mana haram. Tujuan orang yang mempelajarinya untuk mengamalinya. Tujuan kita mempelajari syariat itu untuk mengamalinya. Tahu kita ilmu baru kita Amali, tahu kita masalah baru kita amali, tahu kita zina haram tidak boleh kita lakukan, tahu Syirik itu dosa besar maka kita menjauhi dari perbuatan demikian.

Kita juga minta kekekalan AllahSubhanahu Wa taala di Surga. Aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah subhanahu wa taala dan Nabi Muhammad adalah hambanya Allah dan rasulnya Allah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh makhluk yaitu rahmatanil alamin. Kata Allah “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS Al-Anbiya: 107)  Yang dimaksud alam adalah seluruh makhluk. Apa perbedaan Rasul dan Nabi? Rasul berkewajiban untuk menyampaikan, dan Nabi tidak berkewajiban untuk menyampaikan.

Yang tidak boleh seorang muslim itu adalah harus seorang muslim itu tahu masalah fikih seperti ini. Bukan berarti wajib pakai buku ini. Selalu meminta kepada Allah subhanahu wa taala agar memberikan kitab ini bermanfaat. Dan menjadikan apa yang saya kumpulkan ini, masalah-masalah yang ada, sebagai bentuk keikhlasan mendapatkan Ridhanya Allah subhanahu wa taala.

 

Thahara

Thahara secara bahasa adalah bersuci. Adapun secara istilah yaitu terlepas dari najis yang tampak maupun tidak tampak. Sebagian ulama mengatakan Thahara itu mengangkat sesuatu yang tanpanya tidak bisa melaksanakan ibadah. Misalnya salat itu tidak sah tanpa Thahara. Kemudian baca Quran juga tidak boleh tanpa Thahara menurut empat mazhab. Ketika seseorang menyentuh Qur’an wajib suci dari hadats kecil.

Dikatakan di sini dan taharah itu ada empat jalan wasilahnya dalam mazhab Syafii. Yang pertama dengan air, yang kedua dengan tanah yang ketiga dengan pakai batu, yang keempat pakai samak. Dikatakan dalam Hadits ““Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci dan menyucikan, tak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” [HR. Abu Daud, no. 66; Tirmidzi, no. 66; An-Nasai, 1:174; Ahmad, 17:190]

Pertama air itu adalah sesuatu yang tanpa ada embel-embel. Air tetap dinamakan air tapi air teh bukan air suci karena sudah berubah. Kita bilang air sirup memang berubah, namun selama namanya air tetap masuk dalam kategori air. Adapun air mutlak diturunkan oleh tujuh tempat, di tujuh bagian:

  1. Air laut
  2. Air hujan
  3. Air Sungai
  4. Air Sumur
  5. Mata Air
  6. Air Embun
  7. Air Salju

Maka selain air ini bukan air mutlak sehingga tidak bisa untuk bersuci misal air teh tidak bisa.

Jadi air itu tidak sah seseorang mengangkat hadats dan mengangkat najis kecuali dengan air. Kenapa? Karena wasilah taharah ada empat ini. Tapi tanah itu secara hakikat tidak mengangkat najis dan hadas dia sebagai pengganti. Misalnya Bapak tidak ketemu air di waktu subuh sampai asar lalu menggunakan tanah, kemudian setelah ashar ada air, maka boleh tidak pakai tanah yang tadi? Tidak boleh karena Tanah hanya pengganti sementara. Dan hadas yang tadi masih ada, maka  harus dihilangkan dengan berwudu.

Jadi ketika bapak sudah ketemu air bapak tidak bisa tayamum. Kalau baru ketemu di waktu asar enggak bisa dipakai tayamumnya lagi. Karena gunanya Tayamum itu adalah sebagai pengganti sementara, bukan sebagai pengangkat hadats. Air ini bisa dipakai untuk mengangkat najis ketika tidak berubah. Tapi ketika berubah rasa, warna, bau dengan perubahan yang mencolok atau perubahan yang kuat, hingga perubahan itu mengubah air tersebut. Bahkan jika hanya 2-3% perubahannya tapi telah mengubah air tersebut maka tidak bisa. Apa lagi jika perubahan yang brutal karena besar dan kuatnya. Nah kalau ada perubahan dari rasa, bau dan warna dengan perubahan yang besar maka tidak bisa dipakai untuk taharah lagi. Kecuali:

  1. Jika dia berubah dengan alami maka tidak masalah. Misal air di suatu tempat berubah warna seiring waktu mak air ini masih bisa dipakai taharah.
  2. Atau dia kemasukan benda suci tapi hanya numpang lewat saja. Misal masuk sabun datang sebentar terus kita ambil lagi, kira-kira ada perubahan tidak? Ada. Tapi apakah perubahan ini akan hilang? Iya.
  3. Atau masuk kepada air  itu sesuatu yang najis tapi kita tidak tampak. Itu juga tidak menganggu kesucian air tadi. Misal ada cicak jatuh ke air itu tapi kita tidak tahu, maka air itu tidak bisa dihukumi najis.

Kapan dia tidak bisa dipakai untuk taharah? Apabila dia bersatu atau larut dengan benda suci yang lain yang menjadikan dia berubah. Misalnya sabun batang kalau lama diletakkan di kamar mandi kemudian larut, sehingga tidak boleh dipakai karena larut. Maka perubahan seperti itu menjadikan tidak menyucikan lagi. Dikarenakan ada perubahan besar dan benda itu melarut. Tapi ketika kemasukan benda suci, tapi tidak melarut dan kita bisa mengambil lagi, maka itu tidak masalah. Misalnya kayu. Kayu kalau masuk ditarik lagi, dan baunya tidak kuat mengubah, maka bisa dipakai untuk bersuci.

Nah ketika tadi terjadi perubahan yang besar pada rasa, warna dan bau, maka tidak sah taharah dengan yang tadi, yaitu apabila ada air mutlak yang kemasukan dan merubah rasa, warna ataupun baunya yang besar dikarenakan benda apa pun yang masuk maka tidak sah digunakan untuk taharah. Kecuali jika berubahnya alami karena waktu, kemudian bendanya turun namun bisa diambil secara langsung, dan tidak larut atau dia masuk tidak tampak dari penglihatan kita, maka itu tidak dihukumi.

Perubahan secara hukum taqdiri (praduga) itu seperti perubahan yang tampak. Misalnya kamar mandi Antum kemasukan bangkai kucing, mungkin warna air dan baunya bakal hilang itu namanya perubahan taqdiri yang tidak tampak. Tapi air itu dihukumi najis. Tapi kalau perubahan yang tampak ada. Yaitu kemasukan beberapa gelas darah ke bak mandi kan jelas berubah. Kalau Masih kelihatan airnya maka itu sah karena perubahannya tidak besar.

Jika masuk ke dalam suatu air yang suci tadi, tapi dia tidak punya bau, tapi berubah warnanya, berubah rasanya, maka ditakar, apakah ini berubahnya parah ataukah berubahnya ringan. Kalau ringan maka dihukumi Suci, kalau perubahannya besar maka tidak bisa dipakai. Jadi air itu tadi ada yang suci mensucikan, ada yang suci dan ada yang najis. Suci mensucikan kalau murni, kemudian yang suci adalah seluruh air selain air najis. Air najis yang kemasukan benda najis misalnya kemasukan bangkai. Jika air suci dan mensucikan bercampur dengan najis maka Jadi najis, kalau bercampur dengan suatu yang suci berubah sifatnya suci Tapi tidak mensucikan.

Tidak mempengaruhi perubahan yang ringan kepada status air. Dan tidak mempengaruhi perubahan yang disebabkan lamanya dia menetap di air itu. Misalnya keluar warna hijau dikarenakan lumut. Kalau disengaja tidak boleh, tapi kalau alami memang karena lama banget diletakkan di sana, maka tetap dihukumi suci dan mensucikan. Kemudian tidak juga merubah hukum air itu ketika air itu bercampur dengan tanah. Misalnya antum masukan tanah kira-kira berubah tidak rasanya? Berubah. atau misal wadahnya dari tanah. Namun hal itu tidak mempengaruhi kesucian dari air. Atau Antum masukkan ke dalam air itu sifat dari tujuh air tadi. Air laut sifatnya asin, antum masukan ke dalam air garam sama seperti air laut, ketika ada perubahan air yang awalnya asin ke tawar. Apakah perubahan itu menjadikan air itu tidak suci mensucikan? Berubah tapi tetap suci dan mensucikan karena merubah sifat dari sifat yang lain ke sifat air yang lain juga, tapi sama-sama sifat air yang suci dan mensucikan.

Kemudian ketika air berubah dikarenakan lumut, maka juga tidak mengubah kesucian air. Tetap suci. Tapi berubah dikarenakan lumut. Warnanya akan menyesuaikan tanah-tanah sampingnya dan tidak mungkin bisa dilewatkan maka perubahan itu dianggap tetap suci dan mensucikan. Misalnya kira-kira di sungai yang keruh karena banyak sampah dan warnanya berubah, itu suci secara antum kalau mau pakai insyaallah sah.

Dan tidak mempengaruhi juga dengan sesuatu perubahan yang benda itu cuma lewat. Misalnya suatu benda dicelupkan, maka ini tidak mempengaruhi, kecuali kalau benda itu dikocok – kocok dengan sengaja. Seperti daun-daun sama ranting-ranting kayu itu kalau dia turun doang itu tidak masalah. Antum ambil juga tidak masalah, Antum biarkan tidak masalah, kalau dia alami. Tapi kalau dia buatan kita, kita masukan lalu kita tarik lagi itu tidak bisa. Tapi kalau alami misal ranting di sumur dan membuat warnanya berubah menjadi warna hijau itu semua dibolehkan, dan masih dianggap suci dan mensucikan.

Dan tidak mempengaruhi juga jika dicampur dengan air garam tetap suci dan mensucikan. Kenapa? Karena sifat air itu ada yang asin.  Tidak masalah juga dengan daun-daun yang berjatuhan dari pohon,  Dan perubahan seperti itu tidak mempengaruhinya selama yang jatuh adalah sesuatu yang larut dan alami, dia tetap suci dan mensucikan. Misalnya ada beberapa buah-buahan jatuh, itu tidak masalah selama masih alami. Kalau sudah berubah rasa dan warnanya itu nanti ada ukurannya Insyaallah.

Air itu terbagi dua, ada namanya Air Qalil dan Katsir. Air Qalil itu di bawah dua kullah. Dua kullah itu sama dengan 216 Liter. Sedangkan air katsir itu di atas dua kullah. Maka kemasukan najis itu besar pada air Qalil maka tidak bisa dipakai. Namun Air Katsiir ini kemasukan bangkai anjing misalnya 10 biji masuk di kolam renang yang dia besarnya 2000 Liter. Maka tidak mempengaruhi kesucian air tersebut, kecuali berubah warna, rasa dan bau. Kalau belum berubah ini maka tetap suci.

Dua kullah kalau ukuran kubusnya 60 x 60 x 60 cm. Makanya bak kamar mandinya dibuat lebih dari dua kullah, biar tenang, ketika ada bangkai tikus tidak khawatir. Itulah pentingnya ketika kita profesional mempunyai ilmu, semuanya dibuat dengan ilmu. Misalnya kita membuat WC tidak boleh menghadap kiblat.

 

Air yang Dimakruhkan

Memakruhkan air yang sangat panas baik dipanaskan maupun alami. Air panas makruh karena bisa merusak kulit. Ataupun air yang sangat dingin jika dipakai untuk berwudhu, bersuci dan semisalnya. Dan dimakruhkan pakai Air Musyammas yaitu air yang dipanaskan di bawah matahari dengan tembaga ataupun kuningan. Karena alasannya dapat menghasilkan penyakit. Air Musyammas ini dimakruhkan untuk badan. Hilang makruhnya Air Musyammas dengan didinginkan.

 

Air Musta’mal

 

Tidak sah bersuci atau mengangkat najis dengan air musta’mal. Yaitu air yang sudah dipakai untuk ibadah yang wajib. Misalnya air wudhu yang turun dari tangan pertama itu musta’mal. Di sini air musta’mal yang dibawah dua kullah. Artinya kalau ada air mustakmal di atas dua kullah boleh dipakai. Misalnya Antum mandi wajib ke sungai lalu menceburkan diri maka boleh. Walaupun masuk ke sungainya bareng-bareng tetap sah, selama air musta’mal itu di atas dua kullah. Misalnya bak mandi Antum ukurannya 50*50*50 cm. Misal dimasukkan untuk cuci tangan, maka tidak bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain.

Air mustamal tadi tidak sah untuk taharah baik untuk menghilangkan najis atau mengangkat hadats. Jika seseorang yang memasukkan tangannya ke air di bawah dua kullah tanpa ada niat untuk untuk menyendok. Misalnya dia sudah berwudhu tapi di anggota tubuh selanjutnya dia menyelupkan tangannya tapi niatnya adalah untuk membasuh bagian yang diwajibkan. Misalnya memasukkan tangan dengan niat membasuh bukan niat untuk mengambil air. Ketika dia niat untuk membasuh tangannya, maka air itu menjadi mustamal. Tapi kalau dia niat untuk mengambil air maka tidak jadi musta’mal. Jangan taktu melihatnya ini perkara besar, santai saja. Namun paling bagus pakai air yang mengalir.

Dan air musta’mal itu boleh dipakai untuk sesuatu yang disunahkan. Misalnya Bapak melakukan wajib dulu yang pertama lalu mau lanjut sunah masuk kaki kedua dan ketiga itu boleh, karena yang wajibnya telah selesai. Atau misalnya Bapak sudah mandi wajib, sudah kena semua badannya. Kemudian sudah kering badannya, bapak mau mengambil wudhu untuk sunah. Misal untuk sunah tidur. Lalu berkumur-kumur ke dalam air tersebut itu boleh, karena untuk sunah. Boleh air mustamal itu dipakai untuk basuhan kedua dan ketiga karena hukumnya sunah. Sahnya bersuci dengan air mustamal untuk perkara-perkara yang disunahkan.

Hadits air-air suci “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat mengubah bau, rasa, atau warnanya.[HR. Ibnu Majah]. Adapun dalil kesucian embun dan salju adalah riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW selesai bertakbir dalam sholat, beliau diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah. Abu Hurairah pun bertanya, "Wahai Rasulullah, demi bapak dan ibuku, beritahukanlah kepadaku apa yang engkau ucapkan pada saat engkau diam sebelum membaca Al Fatihah."

Nabi pun bersabda, "Aku mengucapkan, 'Allahumma baidni wa baina khataya kama ba'adta bainal masyriqi wal maghribi, Allahumma naqqini mi khathayaa kama yunaqqats tsaubul abyadhu minaddanas, Allahummaghsilni min khatayaya bisalji wal-maai wa baradi'/Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dengan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, basuhlah aku dari dosa-dosaku dengan salju, air, dan embun."

Adapun dalil kesucian air laut adalah ketika Nabi ditanya tentang suci atau tidaknya air laut, Nabi menjawab, "Huwattahuru ma-uhu al-hillu maytatahu." Yang artinya, "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." 

 

 

 

Bagikan

Jangan lewatkan

Pertemuan 1 Fiqih Kitab Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

kritik sarannya sangat membantu Saya dan Anda berkembang menjadi lebih baik lagi.