Pendahuluan
Teknik atau rekayasa (bahasa
Inggris: engineering) adalah penerapan ilmu dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan
manusia. Hal ini diselesaikan lewat pengetahuan, matematika dan pengalaman
praktis yang diterapkan untuk mendesain
objek atau proses yang berguna. Para praktisi teknik profesional disebut
insinyur.
Kalimat yang pas dalam definisi
seorang rekayasawan di bidang teknik sipil adalah karena terdapat unsur
“pengalaman praktis”. Oleh sebab itu
pengambilan keputusan tidak sekedar menggunakan textbook melainkan butuh dukungan code/standard untuk mengantisipasi terjadinya ketidakpastian dengan
menggunakan rujukan pengalaman yang telah lalu.
Pada konstruksi baja misalnya,
materi textbook lebih menekankan pada
bagaimana perilaku sturktur; cara analisis dan tahapan desain yang memenuhi
kriteria kekuatan, kekauan, dan daktilitas. Adapun yang ada pada standard lebih menekankan pada ketentuan
minimum atau maksimum yang harus dipilih dan dicapai dalam kaitannya untuk
menghasilkan kosntruksi yang aman dan handal.
Code
atau standard mempunyai kekuatan hukum, dapat membedakan suatu keruntuhan
(kegagalan konstruksi) apakah itu musibah yang tidak dapat dihindarkan (force major) atau kelalaian insinyur.
Ini penting karena pada dasarnya manusia hanya dapat memperkecil risiko. Untuk
kepastian mutlak bahwa tidak akan ada musibah maka itu hanya kuasa Tuhan. Itu
adalah petunjuk bahwa code atau standard bukanlah suatu yang sempurna secara
mutlak, hanya diakui "benar" pada masanya
SNI
1729:2015 dan segala referensi penunjangnya
Peraturan mengenai struktur baja
kembali diperbarui pada tahun 2015 dengan dikeluarkannya SNI 1729:2015. Namun
beberapa kritik timbul terhadap munculnya standar baku dalam bidang perancangan
konstruksi baja ini. Berikut beberapa kritik atas perkembangan SNI baru ini :
1. Indonesia belum bisa membuat badan
khusus keprofesian yang menangani pembuataaturan baku ini. Telah dijelaskan di
awal seberapa pentingnya penglaman yang digunakan dalam keberadaan di lapangan.
Karena probabilitas perancangan konstruksi dipeuhi oleh ketidakpastian. Oleh
karena itu para insinyur diharap untuk berkumpul membahas tentang dibuatnya
aturan baku ini khusus di negara sendiri, Indonesia.
Di luar
negeri, misal Amerika, code atau standard dibuat oleh asosiasi profesi, seperti
AISC (American Institute of Steel Construction), AISI (American Iron and Steel
Institute) dan semacamnya. Kondisi di Indonesia, code atau standard baja
misalnya (SNI 1729:2015), disusun Komite Teknis yang dibentuk atas inisiatif
pemerintah (Puslitbang Pemukiman) yang anggotanya adalah stakeholder atau
pemangku kepentingan terkait code yang dibuat. Umumnya dipilih mewakili unsur
pemerintah, perguruan tinggi, atau praktisi konstruksi. Hasilnya akan
dipublikasikan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN).
2. Code
atau standar yang ada terlalu
disamakan dengan standar luar negeri yang telah ada, tanpa mau merubah atau menyesuaikan
dengan keadaan di Indonesia. Kesan bahwa para stakeholder dalam bidang ketekniksipilan ini ingin yang praktis
saja. Merujuk pada Puslitbang yang menangani pembuatan SNI, anggotanya biasanya
adalah para pakar ahli yang mewakili institusi terpandang di negeri ini.
Meskipun demikian, umumnya mereka itu bekerjanya sekedar mengandalkan literatur
luar negeri. Padahal apa yang terjadi di Indonesia dengan di luar sangat
berbeda kondisinya. Namun hal ini didukung karena keterbatasan penelitian di
dalam negeri sendiri sebagai penunjang standar yang ada. Memang, bisa saja
mereka mempunyai hasil penelitian mandiri, tetapi karena pada dasarnya hasil
riset Indonesia masih lemah, dan literatur yang terbitpun tidak mencukupi untuk
dijadikan rujukan komprehensif pembuatan code secara mandiri, maka cara kerja
pembuatan code sebagaimana terjadi adalah menggunakan literature luar yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan digunakan sehari – hari dalam
perancangan.
3. Di Indonesia sangat familiar sekali
memakai baja Konvensional (Hot-Rolled) dibanding baja ringan (Cold-Rolled)
seperti yang biasa digunakan di luar negeri. Padahal karakter keduanya berbeda,
juga asosiasi profesi yang menerbitkan peraturan keduanya juga berbeda. Jika
tidak dijelaskan khusus, maka yang dimaksud dengan struktur baja adalah
kelompok pertama. Ini perlu diungkapkan karena struktur baja ringan sudah lama
di Indonesia, sejak 1973 perusahaan dari Australia (PT. BHP Steel Lysaght)
telah memproduksi dan memasarkannya dan sampai sekarang tetap eksis bahkan
berkembang semakin maju menggantikan struktur kayu yang harganya semakin mahal.
Untuk melihat beda antara baja hot-rolled dan cold-formed dapat dilihat pada
karakteristik berikut.
·
Baja
Hot- rolled (canai panas)
SNI
1729-2015 : Spesifikasi untukbangunan gedung baja structural
Baut mut
tinggi dan sistem baja
·
Baja
Cold-Formed (canal dingin)
SNI
7971-2013 Sturktur baja canal dingin
Sekrup
, rivet, dan batu (las tidak dipakai)
Di Indonesia
tenaga ahli konstruksi baja (hot-rolled) relatif banyak karena materinya
dijadikan materi perkuliahan di perguruan tinggi. Adapun peraturan baja ringan
SNI 7971:2013 adalah yang pertama kali diterbitkan di Indonesia, dan belum
menjadi kurikulum wajib di perguruan tinggi.
4. Inkonsistensi peraturan yang
dipakai. Dalam keberjalanannya ada banyak acuan yang dijadikan acuan/peraturan
dalam mendesain. Terhitung dari mulai tahun 1927 hingga sekarang banyak sekali
peraturan yang terus muncul sebagai akibat perkembangan zaman yang makin selalu
memunculkan inovasi baru dalam bidang ketekniksipilan juga. Contoh : 1st
manual Steel, ASD (AISC 1989), LRFD, ACD (AISC 2005), hingga yang terbaru
adalah AISC 2010. Dari data di atas diketahui bahwa code yang berlaku di suatu
negara selalu berubah atau tepatnya up-date terus untuk setiap beberapa tahun
sekali. Motivasi yang menyebabkannya bisa berbeda-beda. Biasanya hal itu
dimulai dari negara yang asosiasi profesinya cukup kuat, sekaligus dukungan
riset yang kuat juga. Padahal seharusnya ketentuan/standar yang baru mencakup
evaluasi dari standar yang ada sebelumnya.
Dengan
digunakannya faktor probabilitas maka faktor keamanan cara LRFD berbeda antara
tiap kasus beban. Variasi beban hidup lebih besar daripada beban mati, oleh
sebab itu faktor bebannya juga lebih besar dari beban mati. Adapun cara ASD
(AISC 1989) faktor keamanannya sama untuk setiap kondisi beban. Nilainya
diperoleh berdasarkan kebiasaan, yang terbukti sukses digunakan bertahun-tahun
sebelumnya. Itu pula sebabnya nilai ASD juga dipakai sebagai patokan kalibrasi
cara LRFD. Keduanya pada kondisi dimana rasio beban hidup dibanding beban mati
adalah 3 (tiga), dibuat sedemikian rupa sehingga faktor keamanannya menjadi
sama (AISC 2010). Oleh sebab itu akan timbul perbedaan jika rasio beban hidup
dan beban mati berbeda dari yang digunakan untuk nilai kalibrasi. Untuk
struktur dengan rasio beban mati lebih besar dari beban hidup, maka pemakaian
cara ASD (AISC 1989) akan lebih konservatif (boros) dibanding cara LRFD,
demikian juga sebaliknya. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan ketidakkonsistenan
dalam merancang, sehingga nanti hasil yang didapat tidak memenuhi ketentuan
desain yang ada.
5. Rancangan mengenai sturktur baja
tahan gempa yang masih sangat minim. Padahal gempa yang tejadi di Indoensia
intensitas nya lebih tinggi dari negara –negara di luar negeri. Dan yang jadi
sedikit masalah adalah standar yang sudah ada minim dalam memperhitungkan
dampak gempa. Laporan FEMA-350 (2000) menunjukkan bahwa dampak gempa bumi
Northridge (USA), tanggal 17 Januari 1994, mengubah semua keyakinan pada
standar yang telah ada tadi. Setelah gempa itu terjadi, dijumpai banyak
bangunan struktur baja yang dulunya dianggap tahan gempa ternyata mengalami
kerusakan getas pada sambungan balok-kolom. Bangunan yang rusak mencakup, satu
lantai sampai banyak tingkat, dari usia bangunan 30 tahun sampai konstruksi
yang baru selesai dibangun sesaat sebelum gempa terjadi. Bangunan yang rusak
juga tersebar pada suatu daerah geografi yang cukup luas, bahkan pada daerah
yang dianggap hanya menerima gempa sedang
Padahal jika
dikaji secara umum, bangunan struktur baja yang mengalami kerusakan akibat
gempa Northridge tersebut telah memenuhi kriteria dasar code tahan gempa yang
ada. Hanya saja, kerusakan yang dimaksud belum menyebabkan bangunannya runtuh.
Meskipun demikian, struktur bangunan tidak berperilaku sebagaimana yang
diharapkan dan kerugian ekonomi terjadi akibat kerusakan sambungan, bahkan pada
beberapa kasus terjadi akibat gempa yang relatif kecil dari gempa rencana.
Kerugian termasuk juga biaya langsung akibat proses investigasi dan perbaikan
sambungan, sekaligus biaya tidak langsung karena proses perbaikan yang
diperlukan, juga kerugian jangka panjang akibat perubahan fungsi ruang pada
daerah yang rusak.
Inovasi
Teknologi
Dibalik beberapa keraguan terkait
standar yang telah ada, ternyata SNI 2015 yang mengadopsi sepenuhnya AISC 2010
juga memiliki inovasi unggul disbanding SNI pendahulunya pada tahun 2002.
Dampak yang paling terasa adalah penerapan kecanggihan teknologi dalam
penerapan perancangannya. Hal inilah yang membuat SNI 2015 layak dipakai dalam
perancangan karena kemudahan akses dalam bidang teknologi, sehingga
memungkinkan efisiensi desain.
Materi AISC (2010) jika dipelajari ternyata berubah
mendasar. Jika sebelumnya (AISC 2005 dan code sebelumnya), strategi perencanaan
dapat didasarkan pada analisis struktur yang dapat diselesaikan secara manual
(kalkulator). Kalaupun memakai komputer hanya untuk otomatisasi atau kecepatan
hitungan. Adapun cara baru, DAM (AISC 2010) harus tergantung ketersediaan
komputer. Oleh sebab itu cara lama tetap diakui dan dimuat di Appendix 7 (AISC
2010) sebagai cara alternatif. Karena masih mungkin dipakai, maka dibedakan
dengan memberi nama Effective Length Method (ELM).
referensi penulisan di : https://www.researchgate.net/publication/311379158_SNI_17292015_dan_Era_Baru_Perencanaan_Baja_Berbasis_Komputer
Bagikan
SNI 2015 : Gebrakan atau blunder di zaman sekarang ?
4/
5
Oleh
Anggi Renaldy
kritik sarannya sangat membantu Saya dan Anda berkembang menjadi lebih baik lagi.